Tak terasa sudah menginjak hari ke-29 bulan Oktober, hampir saja tertinggal lagi mengupdate blog bulan ini. Jadi tergelitik menulis karena seminggu lalu kami menerima kedua kalinya surat edaran dari sekolah si bungsu yang dibagikan kepada semua murid, setelah surat yang pertama menjelang akhir tahun lalu juga kami terima. Isinya tentang himbauan kepada para orang tua atau wali murid untuk memeriksa rambut kepala anaknya apakah berkutu atau tidak dan kemudian memberikan laporan ke sekolah. Kutu?? Gak salah nih, di negeri maju dan serba modern seperti Jerman ternyata masih juga ada kutu-kutu rambut bersemayam di kepala anak-anak?
Hmm.. saya jadi teringat pada pengalaman lucu saat saya dan anak-anak baru 3 bulan pertama menginjakan kaki di Jerman. Waktu itu menjelang musim gugur di tahun 2008 dan wohnung --sebutan umum di Jerman untuk apartemen/flat-- tempat kami tinggal selama 5 bulan pertama di Dresden berada di kawasan Hellerau, sekitar 12 kilometer dari jantung kota Dresden. Agak di pinggiran memang, karena lokasinya lebih dekat ke kantor suami yang terletak di kawasan industri di sekitar situ. HRD perusahaannya juga yang mengurus dan mencarikan wohnung tersebut, sudah komplit berikut isinya. Jadi kami pun tak perlu repot-repot mesti hunting atau membeli perabot lagi, lebih praktis dan ekonomis bagi kami pendatang baru. Singkat kata, beberapa minggu setelah urusan administrasi dan lain sebagainya di Ausländerbehorde selesai, anak-anak pun bisa memulai sekolah pada bulan kedua kami disana. Si sulung (6
tahun) masuk kelas 1 Grundschule (SD) dan yang bungsu (4 tahun) masuk
ke Kindergarten.
Suatu sore saat kami bercengkrama sebelum makan malam, suami saya memperhatikan ada sesuatu di rambut Obby, si bungsu. Mulanya kami pikir itu hanya kotoran yang menempel di rambutnya, maklumlah gaya anak-anak TK disini masih suka bermain pasir di sekolahnya. Tapi setelah diamati lagi, kami cukup kaget, karena sesuatu di rambutnya itu ternyata adalah telur-telur kutu rambut! Huuaaa!! Sejak kapan dia berkutu?? Sepengetahuan saya meskipun anak-anak kadang sering tertidur bersama dengan pengasuhnya sewaktu di Indonesia, mereka tidak pernah berkutu. Karena sekalipun sang pengasuh berasal dari desa yang sangat jauh dari kota tetapi mereka tidak berkutu dan toh tetap mengenal shampoo dengan kualitas baik. Hmm.. dampak tayangan iklan dari beberapa stasiun televisi swasta di tanah air yang menjangkau hingga ke pelosok daerah ternyata memang sangat ampuh :-D
Tidak seperti umumnya Taman Kanak-Kanak di Indonesia, kindergarten disini tidak ada penggolongan kelas nol besar atau kecil, semua anak yang sudah berumur minimal 3 tahun sudah bisa memasuki kindergarten. Dibawah usia itu namanya Kinderkrippe, yang lazimnya masih satu gedung kelola dengan kindergarten. Selain tidak ada penggolongan kelas, kindergarten pun memiliki jam sekolah yang lebih panjang dan tidak gratis seperti umumnya sekolah dasar hingga sekolah menengah disini, malah menurut saya lebih cenderung seperti tempat penitipan anak
Biar lebih jelas, ada baiknya saya bahas sedikit tentang kindergarten ini. Umumnya di Jerman saat akan mendaftarkan anak di kindergarten, kita akan diberi lembaran formulir yang antara lain berisi pertanyaan berapa jam lama waktu yang dipilih bagi anak kita selama berada kindergarten tersebut . Disitu sudah terdapat paket-paket jam berikut biaya per bulannya. Waktu terpendek biasanya 4 jam atau bisa juga sampai dengan 7 jam per hari kerja, diluar sejumlah jam tersebut ada biaya ekstra lagi. Jadi, tidak seperti di Indonesia yang waktu belajar Taman Kanak-Kanak pada umumnya dimulai dari pk.08.00 dan berakhir pk.10.00 pagi, disini kindergarten bisa dimulai dari jam berapa pun sesuai permintaan orang tua murid, tetapi paling awal biasanya dibuka dari pk.07.00, meskipun jadwal belajarnya di kelas tetap dimulai bersama-sama pada pk. 09.00 atau 10.00 pagi. Dan mengingat keluarga disini umumnya tidak mempunyai pembantu rumah tangga atau babysitter, maka jadwal kindergarten/kinderkrippe dari pukul 07.00 pagi hingga (maksimal) pukul 17.00 adalah pilihan favorit bagi pasangan orang tua murid yang keduanya bekerja.
Bisa dibayangkan, dengan jam sekolah sepanjang itu anak-anak di kindergarten jadi mempunyai ritme rutin di sekolahnya, dimulai dari bermain bermain dan bermain (karena kindergarten disini tidak mewajibkan anak-anak didiknya harus bisa membaca), kemudian makan siang, dilanjutkan tidur siang bersama lalu makan vesper (snack) di sore hari sebelum kembali bermain atau dijemput pulang ke rumah masing-masing. Naah rupanya kebiasaan tidur siang bersama inilah yang menjadi momen tepat bagi "Läuse" sang kutu rambut untuk nemplok berpindah tempat dari satu rambut ke rambut lain. Dan rupanya si bungsu ketularan "partner" terdekat tidurnya dan tanpa disadari sang kutu bergerilya berkembang biak dan menetaskan telur-telurnya hiiiyyy !
Giliran saya dan suami yang puyeng karena sudah lama tidak melihat dan mendengar kata "Peditox" merk obat kutu yang kami kenal jaman masih SD. Nah lhooo!!
Ah, dimanakah kau Peditox, kami memanggilmu namun tak kutemukan juga kemana rimbanya!
Ya iya laah... mau menanyakan ke apotik dekat rumah pun aja maluuu hihihi gimana mau ketemu si Peditox. Jadilah akhirnya setiap sore hari setelah semua berkumpul di rumah saat saya memasak di dapur menyiapkan makan malam, suami mencari dan mencabuti telur-telur kutu si bungsu sambil nonton film kartun di televisi bersama anak-anak. Dan itu dilakukan selama 3 hari berturut-turut hingga akhirnya Obby benar-benar bersih terbebas dari kutu.
Maka ketika surat edaran pertama tentang "Läuse" itu diberikan dari sekolah sini, saya merasa geli sendiri mengingat kejadian itu. Dulu kami pikir anak-anak disana berkutu karena Dresden bekas wilayah Jerman Timur, namun ternyata si kutu berkeliaran bukan karena daerah plus atau minus, tapi karena dia memang suka singgah dan bersemayam dimana saja yang menurutnya nyaman tanpa mengenal tempat dan musim. Bukan begitu?
'
Monday, October 29, 2012
Monday, July 16, 2012
STRAWBERRY CAKE
Awal Juni lalu kami kedatangan teman baik keluarga Jerman dari Augsburg, Bayern yang juga bermalam di rumah, kebetulan dia membawa Erdbeerkuchen atau strawberry cake buatannya sendiri. Tidak seperti umumnya cake dengan krim yang biasa saya buat sendiri di rumah, menggunakan schlagsahne (whipped cream), saure sahne atau buttercream, cake ini variasinya menggunakan puding dan quark. Ternyata enakk bangettt... rasanya mirip vla kue soes tapi teksturnya lebih konsisten dan juga lebih segar karena dicampur dengan quark didalamnya jadi terasa asam-asam gurih begitulah !
Akhirnya saya praktekan resepnya dan ternyata cukup oke juga takarannya.
Berikut adalah resepnya, yang katanya dibrowsing dari internet, tapi saya tidak tau yang mana linknya...
Jadi untuk lebih enaknya saya sebut saja sumber resepnya dari Göhlert family. Sayangnya sudah 2x saya membuat cake ini, tapi selalu saja lupa untuk memotretnya hehehe... emang gak niaat!! Jadi potongan kue dan krim sisa-sisa yang dibawa ke sekolah si bungsu inilah yang bisa mejeng disini, tidak 2 layer krim seperti yang sudah dibuat sesuai resep....
Ah yang penting rasanya dooong!! :-))p
Bahan :
125gr butter (disimpan dalam suhu kamar dulu sampe melunak)
125gr gula pasir
125gr gerigu
50gr schlagsahne (whipped cream)
3 butir telur
1 sachet vanillin zucker (gula vanila)
1/2 sachet backpulver (backing powder, saya gak sampe separuhnya, cukup sepertiga sendok teh aja)
Zitronenback secukupnya (saya gak pake)
sedikit garam
Filling dan hiasan :
500-600gr strawberry
1 pak vanila puding (saya pake Dr. Oatker, buat puding sesuai petunjuk dalam sachetnya)
500ml susu cair segar
250gr quark
3 sdm gula pasir
2 vanillin zucker
1 pak Tortengus warna merah (agar2 bening, terbuat dari carrageenan)
Puding vanila yang sudah jadi dan didinginkan kemudian dicampur dengan quark, tambahkan vanillinzucker, gula pasir dan dikira-kira sesuai rasa manis yang diinginkan. Strawberry potong-potong dibelah 2 bagian.
Cara :
Butter, telur dan gula pasir dikocok sampai berbuih dan berubah warna
Masukkan terigu (yang sudah dicampurkan dengan backpulver, garam dan vanilinzucker kedalamnya) dan schlagsahne bergantian dengan kecepatan rendah dan cepat.
Bakar memakai loyang berdiameter 26cm dalam oven dengan suhu 175 derajat celcius selama 20-30 menit. Angkat, dinginkan dengan diangin-angin.
Setelah dingin, belah dua bagian kuenya (bila ingin lebih mudah dan rapi hasilnya, bisa menggunakan alat khusus pemotong kue)
Puding vanila yang sudah dicampur dengan quark, dioleskan agak tebal pada bagian atas salah satu belahan kue, lalu susun potongan strawberry diatasnya. Tumpuk kue dengan bagian kue lainnya yang juga kemudian diolesi puding-quark. Beri hiasan strawbrerry yang telah dibelah menjadi 2 bagian, lalu disiram dengan larutan agar-agar bening/warna kemerahan diatasnya (Tortengus). Diamkan dalam lemari es minimal 3 jam baru disajikan.
Akhirnya saya praktekan resepnya dan ternyata cukup oke juga takarannya.
Berikut adalah resepnya, yang katanya dibrowsing dari internet, tapi saya tidak tau yang mana linknya...
Jadi untuk lebih enaknya saya sebut saja sumber resepnya dari Göhlert family. Sayangnya sudah 2x saya membuat cake ini, tapi selalu saja lupa untuk memotretnya hehehe... emang gak niaat!! Jadi potongan kue dan krim sisa-sisa yang dibawa ke sekolah si bungsu inilah yang bisa mejeng disini, tidak 2 layer krim seperti yang sudah dibuat sesuai resep....
Ah yang penting rasanya dooong!! :-))p
Bahan :
125gr butter (disimpan dalam suhu kamar dulu sampe melunak)
125gr gula pasir
125gr gerigu
50gr schlagsahne (whipped cream)
3 butir telur
1 sachet vanillin zucker (gula vanila)
1/2 sachet backpulver (backing powder, saya gak sampe separuhnya, cukup sepertiga sendok teh aja)
Zitronenback secukupnya (saya gak pake)
sedikit garam
Filling dan hiasan :
500-600gr strawberry
1 pak vanila puding (saya pake Dr. Oatker, buat puding sesuai petunjuk dalam sachetnya)
500ml susu cair segar
250gr quark
3 sdm gula pasir
2 vanillin zucker
1 pak Tortengus warna merah (agar2 bening, terbuat dari carrageenan)
Puding vanila yang sudah jadi dan didinginkan kemudian dicampur dengan quark, tambahkan vanillinzucker, gula pasir dan dikira-kira sesuai rasa manis yang diinginkan. Strawberry potong-potong dibelah 2 bagian.
Cara :
Butter, telur dan gula pasir dikocok sampai berbuih dan berubah warna
Masukkan terigu (yang sudah dicampurkan dengan backpulver, garam dan vanilinzucker kedalamnya) dan schlagsahne bergantian dengan kecepatan rendah dan cepat.
Bakar memakai loyang berdiameter 26cm dalam oven dengan suhu 175 derajat celcius selama 20-30 menit. Angkat, dinginkan dengan diangin-angin.
Setelah dingin, belah dua bagian kuenya (bila ingin lebih mudah dan rapi hasilnya, bisa menggunakan alat khusus pemotong kue)
Puding vanila yang sudah dicampur dengan quark, dioleskan agak tebal pada bagian atas salah satu belahan kue, lalu susun potongan strawberry diatasnya. Tumpuk kue dengan bagian kue lainnya yang juga kemudian diolesi puding-quark. Beri hiasan strawbrerry yang telah dibelah menjadi 2 bagian, lalu disiram dengan larutan agar-agar bening/warna kemerahan diatasnya (Tortengus). Diamkan dalam lemari es minimal 3 jam baru disajikan.
Sunday, July 15, 2012
Susahnya Menjadi IRT Profesional !!
Tanpa disadari hari ini hari terakhir di bulan Juni,
sementara aku masih belum memposkan sesuatu pun di blog ini...begitu pula bulan Mei lalu, berlalu begitu saja tanpa sempat memposkan 1 pun. Kemana saja
diriku ditengah sang waktu yang demikian cepat berlalu?? Ibarat rumah, koq jarang ditengokk :-((
Semakin dijalani, semakin mata hati ini terbuka, betapa menjadi ibu rumah tangga yang tinggal di negeri orang, apalagi profesional, bukanlah perkara mudah. Terlebih bila pengalaman sebelumnya di Indonesia kita sudah terbiasa bekerja full time 8 jam per hari, 5 hari dalam seminggu dan di"ninabobo"kan oleh sang helper di rumah dalam menyelesaikan banyak hal urusan rumah tangga. Disini pun, sebetulnya banyak sekali keinginan untuk melakukan ini itu, tapi ujung-ujungnya tetap digelendoti segala tetek bengek urusan anak-anak dan pekerjaan rumah tangga yang menanti dan tak pernah ada habisnya. Duuhh, kadang terpikir betapa menjemukannya menjadi ibu rumah tangga! Astagfirullahaladzim...
Tapi, bagaimana pula bisa profesional menjalani status ganda disini ; ibu rumah tangga plus wanita bekerja, bila ujung-ujungnya pekerjaan rumah tangga itu kembali berbalik menjadi bumerang ke diri sendiri. Karena disini membayar Putzfrau, tenaga bantu untuk bersih-bersih rumah cukup mahal (di negara bagian tempat kami kini tinggal, tarif Putzfrau sekitar 10-12 euro per jam) dan membeli makanan jadi dari rumah makan untuk kebutuhan keluarga pun tidak mungkin dilakukan setiap hari, karena selain mahal juga belum terjamin kehalalaannya. Jadi, disini pekerjaan rumah tangga memang tidak bisa dihindari, bagaimana pun !
Aku pernah mengalami, ketika sempat sebulan magang bekerja full time di sebuah sekolah kursus bahasa sewaktu kami masih tinggal di Dresden, ibukota di negara bagian Sachsen (Saxony). Pekerjaan seperti yang aku mimpikan, kantoran dan berpakaian semi formil. Padahal tugas yang dilakukan tidak jauh-jauh dari kegiatan administrasi, mendata ulang atau filing identitas peserta kursus di setiap pembukaan kelas baru. Tapi karena jam kerja dimulai dari pukul 08.00 pagi dan pulang kantor pk. 15.45 (itupun dengan dispensasi) serta dengan tergopoh gopoh aku harus menjemput anak-anak ke Hort pk. 16.00, dilanjutkan sesekali belanja dapur ke supermarket dan masak untuk makan malam, jadilah semua itu tidak terasa cihuy lagi. Hampir begitu terus berlanjut selama 1 bulan penuh. Yang terjadi kemudian, ketika akhir minggu dan saatnya waktu bercengkrama dengan keluarga, jiwa dan raga ini lelahnya luar biasa !
Dalam kondisi stressfull seperti itu, kemudian aku jadi tertegun pada suatu kenyataan yang ada di depan mata, mengapa aku seolah-olah tidak mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan oleh-Nya pada kami??
Aku jadi teringat, pernah beberapa teman wanita Rusia di tempat kursus bahasa Jerman kelas kami malah bilang begini "Seandainya suamiku mampu menafkahi kami sekeluarga dengan baik dan bila saja aku punya kesempatan untuk tidak bekerja, hanya mengurus rumah tangga saja, tentu aku akan dengan senang hati menjalaninya... Tapi kami tidak mungkin terus menerus mendapatkan uang tunjangan sosial disini, jadi aku harus bekerja.. bla bla bla.."
Ya memang, dipikir-pikir lagi, tanpa bekerja pun sebetulnya suamiku masih mampu memberi sandang pangan anak istrinya dengan baik... kami bahkan masih bisa berlibur ke kota-kota yang kami mimpikan.
Akhirnya... semenarik apapun pekerjaan itu, aku lebih memilih untuk melakukan sesuatu yang bisa dilakukan di rumah saja, rasanya itu memang pas buat kondisiku saat ini dan lebih menentramkan jiwa. Jadi, sambil mengerjakan pekerjaan rumah tangga, aku tetap punya kegiatan baru pengisi waktu tapi juga bisa menambah uang saku. Profesi baruku sekarang : Pedagang tas! Profesi yang sebelumnya bahkan sama sekali belum pernah terbayangkan dalam hidup. Dan ternyata profesi baru yang tidak jauh-jauh dari dunia shopping ini malah mengasikkan! Mudah-mudahan, karena terlalu asik belanja dan upload foto-foto untuk promosi, tidak membuat "rumahku" semakin jarang ditengok hehehee..
15 July 2012 , Catatan ynag tertunda.
** Hort adalah istilah untuk tempat penitipan anak di Jerman. Biasanya ada berdampingan dengan setiap Grundschule (SD), dimana selesai jam sekolah murid-murid langsung menuju ke tempat ini, mengerjakan PR bersama, bermain sambil belajar dan melakukan aktifitas lainnya yang merangsang ide dan kreatifitas anak.
Semakin dijalani, semakin mata hati ini terbuka, betapa menjadi ibu rumah tangga yang tinggal di negeri orang, apalagi profesional, bukanlah perkara mudah. Terlebih bila pengalaman sebelumnya di Indonesia kita sudah terbiasa bekerja full time 8 jam per hari, 5 hari dalam seminggu dan di"ninabobo"kan oleh sang helper di rumah dalam menyelesaikan banyak hal urusan rumah tangga. Disini pun, sebetulnya banyak sekali keinginan untuk melakukan ini itu, tapi ujung-ujungnya tetap digelendoti segala tetek bengek urusan anak-anak dan pekerjaan rumah tangga yang menanti dan tak pernah ada habisnya. Duuhh, kadang terpikir betapa menjemukannya menjadi ibu rumah tangga! Astagfirullahaladzim...
Tapi, bagaimana pula bisa profesional menjalani status ganda disini ; ibu rumah tangga plus wanita bekerja, bila ujung-ujungnya pekerjaan rumah tangga itu kembali berbalik menjadi bumerang ke diri sendiri. Karena disini membayar Putzfrau, tenaga bantu untuk bersih-bersih rumah cukup mahal (di negara bagian tempat kami kini tinggal, tarif Putzfrau sekitar 10-12 euro per jam) dan membeli makanan jadi dari rumah makan untuk kebutuhan keluarga pun tidak mungkin dilakukan setiap hari, karena selain mahal juga belum terjamin kehalalaannya. Jadi, disini pekerjaan rumah tangga memang tidak bisa dihindari, bagaimana pun !
Aku pernah mengalami, ketika sempat sebulan magang bekerja full time di sebuah sekolah kursus bahasa sewaktu kami masih tinggal di Dresden, ibukota di negara bagian Sachsen (Saxony). Pekerjaan seperti yang aku mimpikan, kantoran dan berpakaian semi formil. Padahal tugas yang dilakukan tidak jauh-jauh dari kegiatan administrasi, mendata ulang atau filing identitas peserta kursus di setiap pembukaan kelas baru. Tapi karena jam kerja dimulai dari pukul 08.00 pagi dan pulang kantor pk. 15.45 (itupun dengan dispensasi) serta dengan tergopoh gopoh aku harus menjemput anak-anak ke Hort pk. 16.00, dilanjutkan sesekali belanja dapur ke supermarket dan masak untuk makan malam, jadilah semua itu tidak terasa cihuy lagi. Hampir begitu terus berlanjut selama 1 bulan penuh. Yang terjadi kemudian, ketika akhir minggu dan saatnya waktu bercengkrama dengan keluarga, jiwa dan raga ini lelahnya luar biasa !
Dalam kondisi stressfull seperti itu, kemudian aku jadi tertegun pada suatu kenyataan yang ada di depan mata, mengapa aku seolah-olah tidak mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan oleh-Nya pada kami??
Aku jadi teringat, pernah beberapa teman wanita Rusia di tempat kursus bahasa Jerman kelas kami malah bilang begini "Seandainya suamiku mampu menafkahi kami sekeluarga dengan baik dan bila saja aku punya kesempatan untuk tidak bekerja, hanya mengurus rumah tangga saja, tentu aku akan dengan senang hati menjalaninya... Tapi kami tidak mungkin terus menerus mendapatkan uang tunjangan sosial disini, jadi aku harus bekerja.. bla bla bla.."
Ya memang, dipikir-pikir lagi, tanpa bekerja pun sebetulnya suamiku masih mampu memberi sandang pangan anak istrinya dengan baik... kami bahkan masih bisa berlibur ke kota-kota yang kami mimpikan.
Akhirnya... semenarik apapun pekerjaan itu, aku lebih memilih untuk melakukan sesuatu yang bisa dilakukan di rumah saja, rasanya itu memang pas buat kondisiku saat ini dan lebih menentramkan jiwa. Jadi, sambil mengerjakan pekerjaan rumah tangga, aku tetap punya kegiatan baru pengisi waktu tapi juga bisa menambah uang saku. Profesi baruku sekarang : Pedagang tas! Profesi yang sebelumnya bahkan sama sekali belum pernah terbayangkan dalam hidup. Dan ternyata profesi baru yang tidak jauh-jauh dari dunia shopping ini malah mengasikkan! Mudah-mudahan, karena terlalu asik belanja dan upload foto-foto untuk promosi, tidak membuat "rumahku" semakin jarang ditengok hehehee..
15 July 2012 , Catatan ynag tertunda.
** Hort adalah istilah untuk tempat penitipan anak di Jerman. Biasanya ada berdampingan dengan setiap Grundschule (SD), dimana selesai jam sekolah murid-murid langsung menuju ke tempat ini, mengerjakan PR bersama, bermain sambil belajar dan melakukan aktifitas lainnya yang merangsang ide dan kreatifitas anak.
Friday, April 27, 2012
Sambel Kerecek
Jadi terpikir dan kangen berat sambel kerecek ini gara-gara bisa bikin gudeg sendiri hehee... kan asik juga kalo bisa makan gudeg komplit ala Yogya disini. Setelah browsing apa aja bumbunya, saya kemudian ngarang sendiri.com :-)) Dan resep sambel kerecek ala kami kira-kira seperti ini hasilnya :
SAMBEL KERECEK
Bahan :
Kerecek kering sktr 50 gram
2 lembar daun salam
2 iris lengkuas
1 buah sereh besar, bagi 2, geprek
Garam secukupnya
Gula merah (atau gula pasir bila tak ada gula merah) secukupnya
Penyedap secukupnya bila suka
Cabe rawit merah secukupnya
Santan kental 200ml (kalo yang dikaleng pilih yang lebih dari 77% kokosnuss)
200-250 ml air
Setengah ruas kelingking asam jawa, rendam air panas
Minyak goreng
Bumbu halus :
5 buah cabe merah (bisa juga dicampur spitzpaprika bila tak ingin pedas)
2 buah schalotten besar (atau 5 buah bawang merah)
4 buah bawang putih
1/4 sdt terasi
2 buah kemiri (lebih baik dibakar atau disangrai dulu)
Semuanya dihaluskan, kalo saya langsung diblender kalo diulek capee deeh.. :p
Cara :
Semua kerecek digoreng dalam minyak panas agar mengembang sempurna, tiriskan, karena suka menyerap banyak minyak. Tumis bumbu halus beserta salam sereh dan lengkuas sampai harum, masukkan air, gula, garam, air asam dan santannya sampai mendidih. Setelah mendidih masukkan kerecek dan masak dengan api sedang hingga matang dan empuk serta berkurang airnya. Cabe rawit dimasukkan di tengah-tengah saat menggodok kerecek, kekentalan sambal kerecek tegantung sesuai selera. Siap dihidangkan :-)
Friday, April 20, 2012
Gudeg Yogya
Dulu saya paling males kalo masak pake bumbu-bumbu yang ribet. Bukan apa-apa, selain pengetahuan masak saya gak ada, juga karena masak dengan bumbu simpel pun seperti model tumis-tumisan misalnya, udah enak rasanya... yang penting menunya kan sehat dan bergizi :-)
Tapi setelah lebih 2 tahun tinggal disini, saya nyerah deh... rasanya bosan dengan makanan begitu-begitu aja, juga karena kangennnyaaa sama makanan tanah air makin menjadi-jadi. Gawat!!
Jadilah saya mulai googling resep-resep, termasuk resep Gudeg Yogya ini, yang linknya dikirimkan seorang teman (makasih ya jeng Sartini :) dan saya modifikasi lagi hingga terasa pas buat lidah saya dan keluarga. Ini dia resepnya...
GUDEG JOGJA
Bahan :
2 kaleng green jack fruit, buang airnya
1 kaleng santan 400 ml (coconut milk)
1 ekor ayam tidak terlalu besar atau bisa juga 5 Hähnchenschenkel ( paha atas bawah)
10 butir telur rebus
2 lembar daun salam
2 iris lengkuas
2/3 blok gula Srikandi (atau gula Jawa) disisir halus
1 sdt asam Jawa (atau asam Tamarind)
3 teh celup (Schwarztee)
500 ml air
kulit schalloten atau bawang merah (segenggam)
Bumbu halus :
4 siung schalloten uk. besar, atau 10 butir bawang merah
5 siung bawang putih
2 sdt ketumbar (ground coriander)
garam secukupnya
Haluskan dengan ulekan/ blender
Cara membuat :
Potong ayam menjadi 8 atau 10 bagian, taruh di panci paling bawah. Letakan telur rebus di atasnya. Kemudian nangka mentah dari kaleng yang telah dibilas air sebelumnya atau bila mau lebih empuk lagi nangkanya bisa juga terlebih dahulu direbus secara terpisah sebelum kemudian dicampurkan bersama ayam dan telur. Masukan gula merah, kulit bawang merah, lengkuas, asam, daun salam dan bumbu halus.
Tuangkan santan dari kaleng, tambahkan air panas yang telah dicelupkan 3 buah teh celup
Masak dengan api sedang sekitar 45 menit. Ketika air sudah berkurang, kecilkan api dan terus dimasak sampai air habis.
(Resep kereceknya menyusul yaa.. :-)
Tapi setelah lebih 2 tahun tinggal disini, saya nyerah deh... rasanya bosan dengan makanan begitu-begitu aja, juga karena kangennnyaaa sama makanan tanah air makin menjadi-jadi. Gawat!!
Jadilah saya mulai googling resep-resep, termasuk resep Gudeg Yogya ini, yang linknya dikirimkan seorang teman (makasih ya jeng Sartini :) dan saya modifikasi lagi hingga terasa pas buat lidah saya dan keluarga. Ini dia resepnya...
GUDEG JOGJA
Bahan :
2 kaleng green jack fruit, buang airnya
1 kaleng santan 400 ml (coconut milk)
1 ekor ayam tidak terlalu besar atau bisa juga 5 Hähnchenschenkel ( paha atas bawah)
10 butir telur rebus
2 lembar daun salam
2 iris lengkuas
2/3 blok gula Srikandi (atau gula Jawa) disisir halus
1 sdt asam Jawa (atau asam Tamarind)
3 teh celup (Schwarztee)
500 ml air
kulit schalloten atau bawang merah (segenggam)
Bumbu halus :
4 siung schalloten uk. besar, atau 10 butir bawang merah
5 siung bawang putih
2 sdt ketumbar (ground coriander)
garam secukupnya
Haluskan dengan ulekan/ blender
Cara membuat :
Potong ayam menjadi 8 atau 10 bagian, taruh di panci paling bawah. Letakan telur rebus di atasnya. Kemudian nangka mentah dari kaleng yang telah dibilas air sebelumnya atau bila mau lebih empuk lagi nangkanya bisa juga terlebih dahulu direbus secara terpisah sebelum kemudian dicampurkan bersama ayam dan telur. Masukan gula merah, kulit bawang merah, lengkuas, asam, daun salam dan bumbu halus.
Tuangkan santan dari kaleng, tambahkan air panas yang telah dicelupkan 3 buah teh celup
Masak dengan api sedang sekitar 45 menit. Ketika air sudah berkurang, kecilkan api dan terus dimasak sampai air habis.
(Resep kereceknya menyusul yaa.. :-)
Saturday, April 14, 2012
Ngintip Gymnasium, sekolah menengah di Jerman
Beberapa hari lalu kami mendapatkan undangan acara „Tag der offenen Tür“ dari 2 Gymnasium
yang berada di kota tempat kami tinggal, berkaitan dengan pendaftaran ajaran
baru September 2012 mendatang untuk si sulung. Dalam acara undangan di kedua
Gymnasium tersebut, kami para orang tua plus calon siswa/i diterangkan
informasi seputar sekolah dan diberi kesempatan untuk melihat-lihat semua
fasilitas yang terdapat disana.
Di Jerman, secondary school atau sekolah menengah umumnya dimulai
dari kelas 5, kebijakannya pun dijalankan sesuai dengan masing-masing Länder
(negara bagian). Grundschule (SD) berlangsung sampai kelas 4,
perkecualian di Berlin dan Brandenburg, Grundschule sampai kelas 6. Selain
Gymnasium masih terdapat sekolah menengah lainnya, yaitu Hauptschule yang mempersiapkan
siswa untuk pendidikan kejuruan dan Real Schule yang memiliki penekanan lebih
luas untuk murid intermediate dan masing-masing berakhir dengan
ujian akhir bernama Hauptschulabschluss dan Realschulabschluss, serta lebih
dipersiapkan untuk bekerja.
Lama studi di Gymnasium adalah 8-9 tahun (kelas 12-13) kemudian diakhiri
dengan Abitur, ujian akhir atau persyaratan tes yang diwajibkan sebelum memasuki
universitas. Gengsi masuk Gymnasium mungkin kira-kira sama dengan gengsi masuk sekolah menengah favorit di Indonesia, setiap siswa/i yang berorientasi akan melanjutkan
pendidikan ke universitas atau perguruan tinggi lainnya memang disarankan lebih
baik memasuki Gymnasium. Persyaratan yang diwajibkan pun cukup berat, di
beberapa negara bagian memberlakukan persyaratan nilai pelajaran Mathe
(Matematika) dan Deutsch (Bahasa Jerman) dengan minimal angka rata-rata 2
atau 2,3 (setaraf nilai B atau B minus). Sedangkan di negara bagian tempat tinggal kami sekarang, Baden Württemberg, yang beribukota di Stuttgart, nilai rata-rata persyaratan
memasuki Gymnasium baru-baru saja dikoreksi menjadi 2,5 (BC) untuk kedua
pelajaran Mathe dan Deutsch.
Gymnasium di Jerman ternyata juga mempunyai keragaman penekanan bidang2
tertentu dalam penyelenggaraan belajarnya. Ada Gymnasium yang lebih banyak
mempelajari Naturwissenschaft (Sains), Humanistische (Kultur dan Bahasa),
Kunst (Seni) juga Religion (Teologi) tergantung masing-masing kebijakannya.
Dengan mengetahui „fokus“ utama dari masing-masing Gymnasium, diharapkan akan
lebih memudahkan siswa/i pada saat akan mendaftarkan diri ke universitas atau
perguruan tinggi sesuai dengan minat dan jurusan pilihannya.
Namun begitu, bukan berarti siswa/i yang sekolah di Hauptschule dan
Realschule tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Karena kedua
sekolah tersebut hanya sampai kelas 10, maka mereka diwajibkan menambah masa
belajar sesuai dengan standar pendidikan yang telah ditetapkan di Gymnasium
(dalam beberapa kasus kadangkala menambah waktu lebih dari 3 tahun lagi) plus Abitur. Oleh karena itu
untuk memudahkan proses kedepannya nanti, biasanya siswa/i Hauptschule
dan Realschule yang akan melanjutkan program ke Bachelor misalnya, diberlakukan
persyaratan maksimal sampai kelas 9 sudah pindah sekolah ke Gymnasium.
Satu hal yang membuat saya dan suami
terkesan, kepala sekolah salah satu Gymnasium mengatakan dalam sambutannya
bahwa berapapun jumlah murid yang akan mendaftar ke Gymnasium tersebut tidak
akan ada istilah ditolak dengan alasan sekolah sudah atau terlalu penuh. Karena
itu menjadi tanggung jawab Stadt (kota) yang akan menyediakan kapasitas baru
sesuai dengan permintaan yang ada. Jadi berapapun jumlah pendaftar baru akan
dipenuhi, sejauh sang calon siswa/i nya memenuhi persyaratan. Ckckckkk...
begitu tidak terbatasnya kah alokasi dana pendidikan disini ? Padahal kami semua kan tidak dipungut biaya setiap bulan untuk bayar SPP hehee...
Demikian sekilas info dari pinggiran
Stuttgart :-)
Friday, March 9, 2012
Ketoprak praktis ala Irna
Awal Februari lalu untuk pertamakalinya saya bikin lontong sendiri, tentu pake Reisbeutel yang kemasannya memang sudah tinggal rebus saja itu. Ooh ternyata gampang begitu koq ya kenapa enggak dari dulu duluu bikin sendiri. Gara-gara pernah denger dari temen katanya merebusnya musti 2 jam lebih, bikin saya males duluan. Lalu setelah tau tips agar merebus lontongnya tidak pake lama, dengan cara merendam dulu si Reisbeutel itu semalaman, barulah saya mau praktek. Maklumlah sejak 3,5 tahun tinggal disini saya belum pernah nemu ketoprak, kangeen! Demi sang ketoprak inilah akhirnya saya jadi bisa juga bikin lontong sendiri. Senangnya lagi, karena lontong perdana saya tidak gagal hehee... halus mulus dengan kepadatan oke tanpa perlu kapur sirih!
Dibilang ketoprak praktis, karena kacangnya saya beli jadi dalam kaleng di supermarket (geröstet und gesalzen Erdnüsse) yang rasanya memang sudah enak, jadi tidak perlu repot menggoreng lagi dan dijamin tidak gosong! Tapi, ternyata kalo gak pake campuran kentang rebus, sang bumbu agak encer kurang legit, dengan dicampur sedikit kentang rebus yang ikut diulek, rasanya jadi lebih menggigit, ya lumayanlah kalo buat obat kangen..yang ada didepan mata apapun terasa nikmaat! :-))
Beginilah jadinya tampang ketoprak itu,
Bahan :
2 bungkus lontong (saya pake 2 bungkus Reisbeutel, tinggal direbus), potong-potong
50 gram bihun kering atau secukupnya, seduh air mendidih, tiriskan
100 gram taoge, buang akarnya, seduh air panas, tiriskan
3 buah tahu segar atau 2 bungkus Natur Tofu, belah besar, goreng 1/2 matang, potong dadu 2 cm
Kerupuk secukupnya
Kecap manis sesuai selera
Bawang goreng untuk taburan
Bumbu halus :
4-5 buah cabai rawit (atau lebih tergantung selera)
3-4 siung bawang putih (goreng utuh sebentar sampai agak layu, bila tidak suka terlalu tajam baunya)
100 gram kacang tanah jadi dalam kaleng ( geröstet und gesalzen Erdnüsse)
1 buah kentang rebus ukuran kecil, untuk mengentalkan bumbu kacang (bila memakai kacang yg digoreng sendiri, tidak perlu kentang rebus lagi)
Gula merah secukupnya
Garam secukupnya
1 sdt asam jawa
Air panas secukupnya, untuk merendam asam dan mengencerkan bumbu kacang
Cara Membuat Ketoprak :
- Haluskan bahan bumbu pake ulekan (mungkin bisa juga pake blender tp saya pilih pake ulekan aja biar lebih mantap :-))
- Susun dalam pinggan berturut-turut, lontong, bihun, tahu goreng, taoge
- Siramkan bumbu kacang, taburkan bawang goreng, hidangkan dengan kerupuk, siap disantap.
**Reisbeutel, bahasa Jerman, reis = beras, beutel = kantong, jadi beras dalam kantong plastik yang dikemas sedemikian rupa serta kantong plastiknya sudah diberi lubang2 kecil, tinggal direbus langsung dengan plastiknya maka jadilah lontong.
Ucapan Kepada Anak yang Wajib Dhindari
(Copas, saya simpan agar bisa selalu diingat, bahan renungan dan introspeksi diri sebagai orang tua yang tak pernah luput dari kesalahan)
Orang tua Merupakan sosok yang sangat penting dan berpengaruh dalam kehidupan seorang anak, baik tingkah laku orang tua maupun ucapan orang.
Terkadang, permasalahan di kantor, konflik dengan suami, atau
permasalahan keluarga malah membuat Anda kesal ketika berhadapan dengan
sikap anak yang kurang menyenangkan.
Apalagi jika si kecil meminta macam-macam kepada Anda, sehingga tidak menutup kemungkinan Anda mengucapkan kata-kata yang seharusnya tidak boleh diucapkan ke buah hati tercinta. Tentu saja, hal tersebut akan meninggalkan luka tersendiri bagi anak Anda.
Berikut sembilan hal yang sebaiknya jangan diucapkan orangtua kepada buah hatinya seperti dilansir Parenting :
1. "Pergi! Mama ingin sendiri dulu"
Ketika Anda mengatakan kalimat ini kepada si kecil, Suzette
Haden Elgin, Ph.D., pendiri Ozark Center for Language Studies mengatakan
bahwa anak akan menginternalisasi kalimat tersebut dan berpikir tidak
ada gunanya untuk berusaha berbicara kepada Anda karena mereka selalu
diusir. Selain itu, jika Anda terbiasa mengatakan hal ini kepada anak,
ketika dewasa ia akan terbiasa pula mengatakan hal yang sama kepada
orang lain.
Ketimbang mengucapkan kalimat di atas, ketika Anda memang
sibuk coba katakan pada anak, "ada yang ibu harus kerjakan dan
selesaikan, jadi ibu ingin kamu menggambar dulu sendiri ya beberapa
menit. Kalau ibu sudah selesai, ibu akan menyusul". Anda juga harus
realistis, anak-anak yang berusia balita dan pre school tidak bisa
membuat diri mereka sendiri tenang selama beberapa jam.
Memberikan label adalah jalan pintas untuk mengubah anak-anak.
Jika Anda mengatakan "kamu itu memang pemalas," maka ia akan ikut
melabeli dirinya secara tidak langsung dan menganggap dirinya memang
pemalas dan tidak ada yang dapat diubah. Jika kita memberikan label yang
buruk kepada anak seperti bodoh, nakal, dan sebagainya, maka hal
tersebut akan terus melekat dan bisa saja menjadi identitas dirinya yang
ia internalisasi hingga dewasa.
Sebaliknya, jika Anda mengatakan "kamu anak yang pintar," ia akan
mengira Anda memiliki ekspektasi yang besar untuknya dan hal tersebut
tentu saja dapat menjadi suatu beban tersendiri baginya. Jika Anda ingin
untuk mengubah tingkah laku si kecil, lebih baik katakan secara jelas
dan spesifik apa yang sebaiknya ia lakukan dan apa yang sebaiknya tidak
ia lakukan tanpa memberi label untuknya.
3. "Jangan menangis"
"Jangan sedih!," atau "jangan seperti anak kecil" merupakan variasi
lain dari kalimat di atas. Jika Anda perhatikan, anak-anak belum bisa
menyalurkan emosinya melalui kata-kata. Mereka tertawa ketika mereka
senang, dan sudah pasti mereka menangis jika mereka sedih. Hal tersebut
merupakan hal yang lumrah.
"Sebenarnya, wajar bila orang tua tidak ingin anaknya merasa sedih
atau menangis. Tetapi, dengan mengatakan "jangan" dan "tidak" kepada
anak tidak akan membuat anak tersebut merasa lebih baik. Bahkan, hal
tersebut akan menimbulkan kesan bahwa emosi mereka tidak benar dan tidak
baik untuk merasa sedih atau takut," kata Debbie Glasser, Ph.D.,
direktur dari Family Support Services di Nova Southeastern University,
Florida, Amerika Serikat.
Daripada Anda memintanya jangan menangis, cobalah pahami emosi
atau kesedihannya. "Ibu tahu kamu takut sekolah tidak ditemani ibu. Tapi
di sana ada ibu guru yang bisa jadi pengganti ibu sebentar dan ada
teman-teman kamu. Kalau kamu masih takut, ibu selalu ada di luar dan
kamu bisa bertemu aku kapanpun kamu mau. Ibu janji nggak akan ninggalin
kamu sendirian".
Dengan memahami kesedihannya, Anda bisa memberinya contoh
bagaimana mengekspreksikan perasaannya. Anda juga menunjukkan padanya
bagaimana bersikap empati. Di kemudian hari, anak pun jadi tidak lagi
terlalu sering menangis dan bisa mengekspreksikan kesedihannya.
4. "Kenapa kamu tidak seperti dia?"
Wajar bagi orang tua untuk membanding-bandingkan si kakak dengan
si adik, atau membandingkan anak dengan temannya yang lain. Tapi,
membanding-bandingkan anak Anda bukanlah cara yang efektif untuk
mengubah perilakunya. Anak memiliki fase tersendiri untuk belajar,
memiliki temperamennya masing-masing, juga kepribadiannya yang pasti
berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Membandingkan anak Anda akan menyiratkan bahwa Anda ingin ia
tidak menjadi dirinya sendiri dan hal tersebut justru malah akan
menyakiti hatinya. Selain itu, membanding-bandingkan anak juga dapat
merusak kepercayaan dirinya. Lebih baik, berikan apresiasi dan pujian
atas tingkah lakunya yang Anda sukai agar dapat mendorongnya untuk
melakukan hal tersebut kembali.
5. "Lho, hanya begini hasilnya?"
Sama seperti membanding-bandingkan, anak Anda juga pasti akan
tersakiti hatinya jika Anda mengatakan kalimat tersebut kepadanya.
Belajar adalah suatu proses untuk mencoba dan melakukan kesalahan hingga
anak Anda akhirnya berhasil untuk menguasai suatu hal. Kalimat ini
tidak akan menyemangatinya untuk terus menguasai hal tersebut, malah
hanya akan menyakitinya dan membuatnya malas untuk kembali belajar.
Jika anak Anda terus melakukan kesalahan, memberikan semangat
dengan berkata "sepertinya akan lebih baik jika kamu menyelesaikannya
dengan cara seperti ini," akan lebih memotivasinya dibandingkan dengan
terus mengejeknya.
6. "Berhenti, atau..."
Kalimat di atas merupakan salah satu bentuk ancaman. Jika Anda
sering mengatakan ini kepada anak, cepat atau lambat ancaman ini tidak
akan berpengaruh lagi terhadap anak dan bahkan anak akan menganggap
ancaman sebagai suatu hal yang biasa. "Hasil riset menunjukkan bahwa,
80% anak dua tahun akan mengulangi kesalahan yang sama yang dilakukannya
hari ini, keesokan harinya, tak peduli disiplin seperti apa yang Anda
terapkan," kata Murray Straus, Ph.D., seorang sosiolog di University of
New Hampshire.
Jadi sebaiknya Anda tidak lagi memberinya ancaman. Akan lebih
efektif untuk menerapkan taktik misalnya memberikan anak arahan yang
sama, menjauhkan anak dari situasi serupa atau memberinya time-out.
7. "Tunggu sampai Mama pulang ke rumah!"
Ini adalah salah satu bentuk lain dari ancaman. Akan tetapi,
ancaman seperti ini akan lebih tidak efektif karena jika anak melakukan
suatu kesalahan, sebaiknya Anda menanganinya secara langsung dan secepat
mungkin sehingga tidak ada penundaan. Selain itu, bisa jadi setelah
Anda pulang, anak Anda telah melupakan kesalahannya. Hal lain yang
membuat ancaman tersebut kurang efektif adalah anak Anda yang akan lebih
berfokus kepada cara untuk mencegah hukuman daripada fokus terhadap
tingkah lakunya yang salah apabila Anda melakukan penundaan dalam
menangani tingkah lakunya.
8. "Ayo, cepat!"
Anda pasti akan merasa stres saat terlambat bangun pagi,
jalanan macet, kurang tidur, atau memiliki banyak pekerjaan di kantor
yang harus Anda selesaikan segera. Anda pun kemudian meminta si kecil
untuk buru-buru agar Anda tidak terlambat. Jika Anda kerapkali mengeluh,
mendesah, atau bahkan merengek agar anak buru-buru sebaiknya Anda perlu
berhati-hati. Hal tersebut cenderung menimbulkan perasaan bersalah pada
anak, akan tetapi tidak membuat mereka termotivasi untuk bergerak lebih
cepat.
9. "Hebat! atau "anak baik!"
Memang, tidak ada salahnya untuk memuji anak Anda. Tapi
kesalahan dari suatu pujian adalah ketika pujian berlebihan diberikan
untuk tingkah laku anak yang biasa saja. Misalnya, kalimat seperti "wah,
kamu sangat hebat!," dilontarkan kepada anak yang telah terbiasa
menghabiskan susunya setiap hari, akan menjadi kurang berarti.
Anak-anak dapat membedakan mana pujian yang dilontarkan untuk
sesuatu yang sederhana, dan pujian untuk suatu tingkah lakunya yang
memerlukan usaha lebih. Lebih baik, berikan pujian untuk usaha keras
yang telah anak Anda lakukan seperti menyelesaikan pekerjaan rumah yang
sulit, atau pada hal yang jarang anak Anda lakukan tetapi sekarang ia
berhasil melakukannya. Pujian yang spesifik membuat anak lebih
termotivasi untuk melakukan tingkah laku tersebut.
Wednesday, February 29, 2012
Masak, Suatu Makna Dibalik Ketidaksukaan
Sudah 4 minggu terakhir saya keranjingan praktek resep-resep tanah
air, dari yang tingkatannya mudah sampai agak sulit. Pernah dalam tiga
hari berturut-turut menunya seperti begini, hari pertama ketoprak, hari
kedua bistik lidah ala Indoneisa, hari ketiga sate padang. Dan dalam 3
hari berturut –turut itu saya mendapat pujian serta ucapan terima kasih
dari suami. Wah senangnyaaa!! Senang karena praktek coba-coba resep
tersebut berhasil, senang juga diberi pujian dan ucapan terimakasih
dari orang tercinta, juga yang lebih penting lagi, senang melihat
mereka ayah dan anak-anak semuanya bisa makan dengan lahap! Meskipun
khusus saat menu ketoprak, anak-anak bisa makan lahap karena saya
buatkan makanan yang berbeda tapi tetap memakai lontong dan tahu goreng.
Kebahagiaan
ini bertambah ketika saya menyajikan menu seperti sop ceker, buntil,
tumis asin peda atau pecel lele di hari-hari berikutnya, yang pada saat
makan lele gorengya semua pakai tangan saja dengan lahap dan kilat,
itu tentu saja nilai plus buat anak-anak saya yang seringkali
cenderung lamban menyelesaikan makannya di rumah. Juga „prestasi“
setelah hidup disini selama 3,5 tahunan digempur makanan Eropa
(vegetaris dan ikan) setiap hari di Hortnya di Dresden dulu dan di
sekolahnya sekarang . Selera lidah anak-anak terhadap makanan
perlahan-lahan memang mulai berubah. Mereka suka sup-sup ala Jerman
juga pasta, sementara saya dan suami tetaap dengan selera nusantara.
Jadi dirumah biar gak repot masak berkali-kali, mereka harus mengikuti
makan malam ala Indonesia hehee.. makan malam pasta bolehlah sesekali
saja.
Ngomongin makanan Indonesia disini, berarti
ngomongin kegiatan masak-memasak, dan betapa harus benar-benar diniati
memulainya. Sampai sekarangpun kalau ada kolom yang menanyakan hobi
saya apa, pasti saya akan jawab cepat : membaca, travelling dan nonton
film. Jujur, sejak kecil dulu saya paling anti bila disuruh ke dapur.
Saya lebih suka bila disuruh beres-beres dan mengepel rumah, katanya
hasil beres-beres saya meskipun lambaan --karena suka gak sadar sambil
diselang baca majalah lama yang baru ketemu-- tapi selalu bersih dan
memuaskan! Ya jelaslah, lha wong saat mau ngepel itu kadang-kadang
semua kursi-kursi ruang tamunya saya angkat dan dibalikkan segala!
Seperti jaman piket di SD dulu. Dan kalau hasil mengepel saya belum
kering kemudian ada yang menginjak lantainya, pasti saya akan langsung
tegur, siapapun, termasuk orang tua hihihii… Kesal, karena sebel liat
jejak-jejak kaki baru yang malah mengotori si lantai! Hmm.. hasil baju
yang saya seterika juga dikenal paling rapi di keluarga kami :-))
Untungnya
ibu saya yang kebetulan hobi dan jago masak juga sudah diakui
kelezatan masakannya di keluarga besar serta dalam lingkungan kerjanya
bisa mengerti bahwa saya tidak berminat kearah situ. Jadi beliau tidak
memaksa saya harus membantunya memasak di dapur. Dan beruntungnya lagi,
karena kebetulan orang tua saya keduanya bekerja, dirumah keluarga kami
selalu ada „helper“ baik yang tinggal bersama dirumah sampai
bertahun-tahun atau yang pulang harian tapi juga bertahan hingga belasan
tahun. So, terbebaslah saya dari kegiatan membantu ibu saya memasak di
dapur hehee.. dengan alasan yang baik tentu saja, karena sudah ada sang helper! Padahal aslinya memang malas, gak minat dan gak mau masak,
wah anak gadis yang payah betul!! :p
Nahh, sejak kejadian
keranjingan berulang-ulang praktek resep tanah air disini bahkan yang
dulu sama sekali tidak pernah terpikir berminat memasaknya, lalu saya
jadi bertanya-tanya pada diri sendiri.. koq bisaa?? Ini sekarang jadi
apa namanya ya..? Hobi?? Coba-coba?? Kebutuhan?? Kangen?? Penasaran
ingin praktek?? Pembuktian diri?? Ingin menyenangkan keluarga?? Aah
entahlaah.. yang jelas hasil praktek dan olahan dapur itu kemudian jadi
tersaji di meja makan, memuaskan dahaga kuliner tanah air dan bisa
dimakan bersama-sama, kadang oleh keluarga dirumah saja. Kadang oleh
tamu-tamu keluarga kami dan beberapa waktu lalu malah sering juga
dimakan oleh lebih dari 40an orang di acara kumpul-kumpul atau
syukuran dengan teman-teman Indonesia di Dresden. Jangan ditanya lagi
bila hidangan yang tersedia sungguh berkenan di lidah mereka, apalagi
bila sampai ada yang menanyakan bagaimana resep dan cara membuatnya…
rasanya bahagia deh, jerih payah saya dihargai!
Pesan
dari tulisan saya ini, bahwa sesuatu yang benar-benar tidak disukai
lebih baik tidak disikapi dengan antipati dahulu. Mungkin dari hal atau
sesuatu yang tidak kita sukai sekarang, itulah yang kemudian menjadi
celah atau jalan bagi kita untuk bisa membahagiakan orang lain. Saya
ingat pernah ada salah satu tulisan pak Mario Teguh yang kira-kira
intinya seperti ini “Sebagian orang masih tidak sukses karena belum
mencoba hal yang tidak disukainya, tapi mungkin dari situlah
kesuksesannya berawal“ Hal yang terjadi pada diri saya sendiri mungkin
bukan pada taraf sukses, tapi masih pada taraf „ternyata aku mampu“
Ah, tapi itu saja sudah membuat saya bahagia, apalagi kalau saya bisa
menyenangkan orang lain.
Wednesday, February 15, 2012
Mie Ayam Pangsit
Udah lamaa pengen bikin mie ayam, tapi gak pe-de dan tidak pernah mencoba sebelumnya. Akhirnya nemu resep ini, yang cukup simpel tapi hasilnya lumayan uenakk hehee.. Kesampean juga deh bikin mie ayam ala mamang2, dengan bumbu memakai minyak ayam plus bawang putih. Disaat winter memang pas makan yang hangat-hangat begini.. :-).
Ini dia resepnya (dicopy dr Bank Resep keluarga Jatmiko )
MIE AYAM
Sumber: Rudy Choirudin
Bahan:
1/2 kg mie ayam
100 ml minyak ayam (aku bikin gak sampe 100ml jd dicampur minyak goreng biasa, yg penting ayam dan bawang putihnya terasa :-))
100 ml kecap asin
300 gr daging ayam rebus potong kotak (aku dicampur jamur champignon cincang)
3 sdm kecap manis
2 sdm kecap inggris
2 btg daun bawang, rajang
caisin dan bawang goreng
Bumbu halus:
3 bh bawang putih
5 bh bawang merah
1 sdt ketumbar
3 cm kunyit
3 cm jahe
4 btr kemiri
Bahan kaldu:
2 ltr air
1/kg tulang ayam (aku pake 4 Hänchenschenkel, paha ayam atas-bawah, tanpa kulit)
1 sdt garam
1/2 sdt lada bubuk
(kalo aku ditambah lagi bawang putih geprek sesuai selera)
cara Membuat:
1. Kaldu: air direbus hingga mendidih, masukkan tulang ayam, rebus dengan api kecil hingga kaldu beraroma harumtambahkan lada bubuk dan garam
2. Tumis bumbu yang dihaluskan hingga harum dan matang
3. Masukkan ayam, tumis hingga bumbu menyerap ke dalam ayam. Tumis sebentar, angkat, sisihkan.
4. Masukkan 2 sdm minyak ayam ke dalam mangkok, tambah penyedap (aku gak pake, krn penyedap udah dimasukkan ke tumisan ayam)
5. Rebus mie dan caisin yang telah dirajang hingga matang, angkat, letakkan di dalam mangkok yang telah terisi bumbu, masukkan ayam 2 sdm
6. Tambahkan bawang goreng dan daun bawang rajang
Cara membuat minyak ayam:
1. ambil kulit ayam dan lemaknya
2. panaskan dengan api kecil di atas penggorengan
3. tambahkan 2 siung bawang putih digeprek
4. panaskan hingga seluruh minyak keluar dari kulit dan lemak ayam
5. minyak siap digunakan
Friday, February 10, 2012
Parade Kerudung
Mungkin judulnya terdengar sedikit bombastis, tapi saat menuliskan ini saya masih terpingkal-pingkal membayangkan bagaimana Herr Menin
teman laki-laki kami di kelas kursus, seorang keturunan yahudi asal Ukraina yang akrab
kami sapa dengan panggilan Jurii, berkerudung warna pink, bermotif
bunga pula!! Sayang sekali, sebelum saya sempat memotretnya dia sudah
melepaskan kerudung siap pakai milik saya itu. “Ogah kalau dipotret
pakai kerudung”, begitu katanya. Sedangkan teman-teman perempuan tampak
begitu bersemangat mematut diri dengan kerudung didepan kaca toilet
dan sebagian lagi yang tidak bisa menggunakannya pasrah didandani
kerudung ala wanita berjilbab oleh teman-teman lainnya, daan..… action
!! Maka jadilah foto-foto ini :)
Ceritanya bermula saat tiba waktunya bagi saya untuk memulai kursus bahasa Jerman lewat program “Integration Course” awal Oktober tahun 2009. Aktivitas baru ini lumayan menyita waktu karena dilakukan 4 hari dalam seminggu, setiap Selasa s.d Jum’at pk. 09.00 – 13.15. Praktis waktu yang benar-benar luang buat diri sendiri hanya setiap hari senin saja (sabtu-minggu adalah waktu buat keluarga) atau pada saat anak-anak sekolah mendapatkan liburan panjang dari sekolahnya.
Hari pertama kursus dimulai, chemistry-nya mulai terasa, orang-orangnya friendly dan welcome sekali. Di kelas kami terdapat 12 orang peserta, 3 laki-laki dan 9 perempuan, usianya berkisar antara 25 – 43 tahun dan berasal dari Rusia, Ukraina, Moldavia, Eslandia, Irak, Turki dan saya sendiri, Indonesia. Peserta muslim hanya ada 2 orang, saya dan teman laki-laki asal Irak, otomatis yang berkerudung hanya saya sendiri, yang lama kelamaan kemudian jadi menimbulkan rasa penasaran teman-teman sekelas dan bertanya “Rambutmu warnanya apa? Seberapa panjang?“ hehee… Mau tau aje !
Namun meskipun berbeda-beda asal negara dan latar belakang begitu, kelas kami cukup kompak, heboh, dinamis dan bahkan keakraban itu bagi para teman perempuan berlanjut diluar acara kursus,
Pernah salah seorang teman baik saya di kelas, Lyubov, seorang perempuan yang sangat cerdas dan dahulu berprofesi sebagai sutradara teater di Moscow namun kini di Jerman dia harus cukup berpuas diri menjadi ibu rumah tangga dengan 3 anak, berkata pada saya “Irna, du bist eine schöne Frau (Irna, kamu seorang perempuan yang cantik (katanya lhoo...prikitiw :)), dan kamu sekarang tinggal di Jerman, sesuaikanlah gaya hidup kamu dengan tata cara disini…bukalah kerudungmu, dan kalau kamu pulang ke Indonesia kamu bisa pakai kembali kerudungmu dan bla..bla..bla…” Saya hanya menanggapinya dengan manggut-manggut dan senyum-senyum, masukan merekapun hanya numpang lewat, masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri hehee… tapi saya sempat menjelaskan pada mereka bahwa masalah kerudung ini sudah menjadi keputusan penting dalam hidup saya sejak pertengahan tahun 2006 lalu dan mudah—mudahan saya bisa selalu konsisten. Insya Allah. Alhamdulillah, sejauh ini mereka tetap menghargai prinsip saya dan hubungan kami tetap terjalin baik.
Ngomong-ngomong tentang keakraban kami diluar kursus, saya jadi ingat, waktu itu kami para perempuannya pernah membuat janji untuk makan malam bersama di sebuah restoran Libanon di Dresden, tanpa membawa anak masing-masing tentunya :)) Sebetulnya acara ini dilakukan lebih karena kami semua penasaran ingin menyaksikan rame-rame “tarian perut” di restoran tersebut yang direkomendasikan oleh guru kursus kami dibandingkan mencoba makanannya hehee…
Saat makan malam tiba dan kami telah berkumpul, saya pun melihat bagaimana teman-teman Rusia dan Ukraina itu mengenakan gaun malam dan pakaian kasual dengan belahan dada sangat rendah yang membuatnya tampak “tumpah ruah” hihii.. sementara saya tetap setia dengan kemeja lengan panjang dan pullover serta jeans dan tentu saja kerudung! Penampilan yang sebetulnya tidak mereka harapkan :p karena mereka “ingin melihat Frau Fauline yang berbeda malam ini” katanya.
Malam itu untuk pertamakalinya pula mereka menyadari bahwa dalam seumur hidup saya, saya belum pernah (dengan sengaja) meminum alkohol. Mereka pikir selama ini saya hanya “menjauhi” alkohol demi menjaga kesehatan semata, karena saya selalu bilang “ohne/keine alkohol” (tanpa alkohol) kalau ditanya minuman apa yang paling saya gemari. Padahal dalam kenyataannya, saya memang belum pernah meminum alkohol dalam arti sebenarnya. Saat itu teman-teman memesan “Rotwein” (redwine) dan “Weisswein” (white wine), sedangkan saya cukup minum Grüner tee alias teh hijau saja hehee..
Menginjak bulan ke-4 di tempat kursus, rasa penasaran dan pertanyaan mereka belum juga hilang, malah semakin bertambah dan sengaja didiskusikan didalam jam pelajaran dengan guru kursus kami saat terdapat materi yang sedikit relevan dengan “rambut” :))
Sekalipun pada suatu kesempatan yang sesuai dengan pembahasan dalam modul kursus di kelas, saya pernah menunjukkan kepada teman-teman foto saat pernikahan saya dan suami, juga potongan kecil foto wisuda saya (yang sebelumnya tersimpan dalam dompet suami :) serta foto-foto keluarga selama di Indonesia saat saya belum berjilbab, namun semuanya itu belum juga memuaskan rasa penasaran mereka. Teman – teman suka bilang, “Irna, bitte kommst du ein mal ohne Koptuch zum Unterricht!” (Irna, datanglah sekali saja ke kursus tanpa jilbab, please!“ hehee... No away!!
Saya sampai kehabisan alasan untuk bersilat lidah agar diterima lebih rasional dengan alam pikiran mereka yang non Islam…. Tapi biasanya pembahasan itu selalu berujung dengan ketawa-ketiwi kami dan saling melempar ‘joke’ segar. Indahnyaa dunia ini... penuh warna!!
Sampai suatu ketika guru kursus kami Frau Kretschmer, seorang Naturalist, berusia 35 tahun, a lovely and wise woman, menyarankan dan berkata dalam kelas pada saya di hadapan semua teman-teman „Frau Fauline, bagaimana kalau suatu hari anda membawa koleksi kerudung anda ke kelas ini dan kita semua bisa mencoba mengenakan kerudung itu bersama-sama?“
Teman-teman kelas langsung setuju dan bilang „Jaaa!“. Saran yang bijak namun agak konyol menurut saya, tapi dengan cepat langsung saya jawab „Warum nicht?“ (mengapa tidak??)
Dan inilah hari yang dimaksud itu, minggu lalu akhirnya tersampaikan juga deh kami semua berkerudung bersama-sama. Teman – teman kelas dengan antusias memilih kerudung-kerudung yang sengaja telah saya bawa dan disiapkan dari rumah. Para Frauen mencoba kerudung dengan berbagai gaya dan warna di kepala, sedangkan teman laki-laki menyulapnya menjadi dasi. Kesempatan langka ini pun tak lupa saya abadikan dalam foto, kelas menjadi ramai mirip suasana di toko penjual kerudung, hebohh !!
Sayangnya 4 orang teman lain di kelas kami berhalangan hadir hari itu karena sakit, maklumlah cuacanya masih dalam transisi pergantian ke musim semi sehingga banyak yang rentan sakit, padahal yang tidak hadir itu 2 orang diantaranya adalah „bintang kejora“ di kelas kami, karena cantiiik !!
Namun begitu, hal itu tetap tidak mengurangi rasa antusias dan kehebohan para Frauen yang ada untuk mencoba-coba bergaya dan mematut diri dengan nuansa lain di depan cermin dalam parade kerudung... :))
Dresden, 28 Maret 2010 (Cerita lama dari Note FB yang baru diposting disini :)
Irina
Ceritanya bermula saat tiba waktunya bagi saya untuk memulai kursus bahasa Jerman lewat program “Integration Course” awal Oktober tahun 2009. Aktivitas baru ini lumayan menyita waktu karena dilakukan 4 hari dalam seminggu, setiap Selasa s.d Jum’at pk. 09.00 – 13.15. Praktis waktu yang benar-benar luang buat diri sendiri hanya setiap hari senin saja (sabtu-minggu adalah waktu buat keluarga) atau pada saat anak-anak sekolah mendapatkan liburan panjang dari sekolahnya.
Hari pertama kursus dimulai, chemistry-nya mulai terasa, orang-orangnya friendly dan welcome sekali. Di kelas kami terdapat 12 orang peserta, 3 laki-laki dan 9 perempuan, usianya berkisar antara 25 – 43 tahun dan berasal dari Rusia, Ukraina, Moldavia, Eslandia, Irak, Turki dan saya sendiri, Indonesia. Peserta muslim hanya ada 2 orang, saya dan teman laki-laki asal Irak, otomatis yang berkerudung hanya saya sendiri, yang lama kelamaan kemudian jadi menimbulkan rasa penasaran teman-teman sekelas dan bertanya “Rambutmu warnanya apa? Seberapa panjang?“ hehee… Mau tau aje !
Namun meskipun berbeda-beda asal negara dan latar belakang begitu, kelas kami cukup kompak, heboh, dinamis dan bahkan keakraban itu bagi para teman perempuan berlanjut diluar acara kursus,
Pernah salah seorang teman baik saya di kelas, Lyubov, seorang perempuan yang sangat cerdas dan dahulu berprofesi sebagai sutradara teater di Moscow namun kini di Jerman dia harus cukup berpuas diri menjadi ibu rumah tangga dengan 3 anak, berkata pada saya “Irna, du bist eine schöne Frau (Irna, kamu seorang perempuan yang cantik (katanya lhoo...prikitiw :)), dan kamu sekarang tinggal di Jerman, sesuaikanlah gaya hidup kamu dengan tata cara disini…bukalah kerudungmu, dan kalau kamu pulang ke Indonesia kamu bisa pakai kembali kerudungmu dan bla..bla..bla…” Saya hanya menanggapinya dengan manggut-manggut dan senyum-senyum, masukan merekapun hanya numpang lewat, masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri hehee… tapi saya sempat menjelaskan pada mereka bahwa masalah kerudung ini sudah menjadi keputusan penting dalam hidup saya sejak pertengahan tahun 2006 lalu dan mudah—mudahan saya bisa selalu konsisten. Insya Allah. Alhamdulillah, sejauh ini mereka tetap menghargai prinsip saya dan hubungan kami tetap terjalin baik.
Ngomong-ngomong tentang keakraban kami diluar kursus, saya jadi ingat, waktu itu kami para perempuannya pernah membuat janji untuk makan malam bersama di sebuah restoran Libanon di Dresden, tanpa membawa anak masing-masing tentunya :)) Sebetulnya acara ini dilakukan lebih karena kami semua penasaran ingin menyaksikan rame-rame “tarian perut” di restoran tersebut yang direkomendasikan oleh guru kursus kami dibandingkan mencoba makanannya hehee…
Saat makan malam tiba dan kami telah berkumpul, saya pun melihat bagaimana teman-teman Rusia dan Ukraina itu mengenakan gaun malam dan pakaian kasual dengan belahan dada sangat rendah yang membuatnya tampak “tumpah ruah” hihii.. sementara saya tetap setia dengan kemeja lengan panjang dan pullover serta jeans dan tentu saja kerudung! Penampilan yang sebetulnya tidak mereka harapkan :p karena mereka “ingin melihat Frau Fauline yang berbeda malam ini” katanya.
Malam itu untuk pertamakalinya pula mereka menyadari bahwa dalam seumur hidup saya, saya belum pernah (dengan sengaja) meminum alkohol. Mereka pikir selama ini saya hanya “menjauhi” alkohol demi menjaga kesehatan semata, karena saya selalu bilang “ohne/keine alkohol” (tanpa alkohol) kalau ditanya minuman apa yang paling saya gemari. Padahal dalam kenyataannya, saya memang belum pernah meminum alkohol dalam arti sebenarnya. Saat itu teman-teman memesan “Rotwein” (redwine) dan “Weisswein” (white wine), sedangkan saya cukup minum Grüner tee alias teh hijau saja hehee..
Menginjak bulan ke-4 di tempat kursus, rasa penasaran dan pertanyaan mereka belum juga hilang, malah semakin bertambah dan sengaja didiskusikan didalam jam pelajaran dengan guru kursus kami saat terdapat materi yang sedikit relevan dengan “rambut” :))
Sekalipun pada suatu kesempatan yang sesuai dengan pembahasan dalam modul kursus di kelas, saya pernah menunjukkan kepada teman-teman foto saat pernikahan saya dan suami, juga potongan kecil foto wisuda saya (yang sebelumnya tersimpan dalam dompet suami :) serta foto-foto keluarga selama di Indonesia saat saya belum berjilbab, namun semuanya itu belum juga memuaskan rasa penasaran mereka. Teman – teman suka bilang, “Irna, bitte kommst du ein mal ohne Koptuch zum Unterricht!” (Irna, datanglah sekali saja ke kursus tanpa jilbab, please!“ hehee... No away!!
Saya sampai kehabisan alasan untuk bersilat lidah agar diterima lebih rasional dengan alam pikiran mereka yang non Islam…. Tapi biasanya pembahasan itu selalu berujung dengan ketawa-ketiwi kami dan saling melempar ‘joke’ segar. Indahnyaa dunia ini... penuh warna!!
Sampai suatu ketika guru kursus kami Frau Kretschmer, seorang Naturalist, berusia 35 tahun, a lovely and wise woman, menyarankan dan berkata dalam kelas pada saya di hadapan semua teman-teman „Frau Fauline, bagaimana kalau suatu hari anda membawa koleksi kerudung anda ke kelas ini dan kita semua bisa mencoba mengenakan kerudung itu bersama-sama?“
Teman-teman kelas langsung setuju dan bilang „Jaaa!“. Saran yang bijak namun agak konyol menurut saya, tapi dengan cepat langsung saya jawab „Warum nicht?“ (mengapa tidak??)
Dan inilah hari yang dimaksud itu, minggu lalu akhirnya tersampaikan juga deh kami semua berkerudung bersama-sama. Teman – teman kelas dengan antusias memilih kerudung-kerudung yang sengaja telah saya bawa dan disiapkan dari rumah. Para Frauen mencoba kerudung dengan berbagai gaya dan warna di kepala, sedangkan teman laki-laki menyulapnya menjadi dasi. Kesempatan langka ini pun tak lupa saya abadikan dalam foto, kelas menjadi ramai mirip suasana di toko penjual kerudung, hebohh !!
Sayangnya 4 orang teman lain di kelas kami berhalangan hadir hari itu karena sakit, maklumlah cuacanya masih dalam transisi pergantian ke musim semi sehingga banyak yang rentan sakit, padahal yang tidak hadir itu 2 orang diantaranya adalah „bintang kejora“ di kelas kami, karena cantiiik !!
Namun begitu, hal itu tetap tidak mengurangi rasa antusias dan kehebohan para Frauen yang ada untuk mencoba-coba bergaya dan mematut diri dengan nuansa lain di depan cermin dalam parade kerudung... :))
Dresden, 28 Maret 2010 (Cerita lama dari Note FB yang baru diposting disini :)
Irina
Mualaf di Gemerlapnya Wina
Musim semi awal April 2010 pada kunjungan perjalanan 3 hari di
Wina, Austria, ada pengalaman yang sangat membekas dan selalu terekam
dalam ingatan saya.
Siang itu di sekitar area Stephen’s Dom, Wina, sesudah kami cukup puas berputar-putar di oldcity dan akan menuju ke objek wisata berikutnya, saya dan suami agak sedikit bersitegang. Penyebabnya biasanya enggak jauh-jauh dari keinginan saya yang tidak bisa menahan diri untuk memotret mengabadikan gedung-gedung dan suasana nan indah di suatu kota baru yang pertama kali kami kunjungi, termasuk memotret anak-anak kami juga. Maklumlah, bagaimanapun nuansanya berbeda dengan Dresden hehee.. jadi saya pikir kapan lagi dalam waktu dekat bisa mengambil foto-foto pemandangan disitu. Apalagi kunjungan kami pun singkat, hanya menginap 2 malam di Wina padahal tempat yang akan kami kunjungi masih banyak, tidak mungkin satu objek sempat 2x terkujungi. Tetapi menurut suami, karena liburan itu milik kami bersama dan anak-anak pun berhak menikmatinya maka sangatlah tidak bijaksana seandainya saya asik sendiri menjeprat-jepret dan seolah-olah mengabaikan dia dan anak-anak. Oo…oo… padahal saya sama sekali tidak bermaksud begitu, saya pikir dalam kurun waktu singkat menjeprat-jepret itu, (seringnya pake automatic pula karena tidak ada waktu untuk mengatur-atur secara manual disamping kemampuan teknik yg belum canggih tentunya hehee) dan selama anak-anak termonitor dengan aman dibantu suami, saya juga sudah membuat kenang-kenangan bagi kami sekeluarga dan suatu saat bisa menunjukkan kepada anak-anak dan berkata “ooh ini lhoo foto kalian waktu di tempat anu di Wina… ooh itu lhoo gaya kalian waktu berkunjung ke Riesenrad..”. Seperti simbiose mutualisme begitulah… Tapi tentulah dua kepala akan punya dua pikiran yang berbeda. Well, okelah kalau begitu… kan istri harus nurut sama suami yah :))
Jadi, sambil masih kesal karena keinginan saya memotret tidak tersampaikan, :p naiklah kami kedalam sebuah bus merah yang khusus dipakai dalam jalur turis oldcity-nya Wina. Saya lupa istilahnya apa, yang jelas bus merah kecil itu berisi sedikit kursi dan penumpang yang tidak penuh, sebagian kursinya ada yang berhadapan seperti posisi kursi dalam angkot di Indonesia. Saya dan suami duduk berdampingan dan berhadapan dengan 2 orang asing didepan kami. Kami pun bicara yang singkat2 seperlunya karena satu sama lain masih merasa kesal. Anak-anak duduk diseberang samping kami dan asik mengoceh terus dalam bahasa Jerman membicarakan apa saja yang mereka lihat sepanjang perjalanan, sampai akhirnya si bungsu bertanya dalam bahasa Indonesia “Apa artinya drei (3) Musketeer?” lalu saya jawab, “ Mama enggak tau, yang mama tau cuma cerita filmnya Three Musketeers (filmnya Kiefer Sutherland) aja, tapi itu sama enggak ya?” Suami pun sama tidak faham betul.
Spontan, tiba-tiba saja salah satu penumpang dihadapan kami, wanita cantik pirang berusia sekitar 43 tahun dengan busana eksklusif dan simpatik bertanya kepada kami dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih “Anda berasal dari Indonesia?” saya dan suami tentu saja kaget sekali. Huahhh, bahasa tubuh kami yang sedang kesal dan bicara pendek2 itu tentulah dimengerti oleh orang itu :p Tiba-tiba saja kami merasa malu kepada diri sendiri... Lalu wanita itu bilang, bahwa dari tadi dia ingin bertanya kepada kami, tapi karena anak2 kami selalu bicara dalam bahasa Jerman maka dia hanya mengamati saja. Selanjutnya, dia menjelaskan arti 3 Musketeer kepada anak2 kami dalam bahasa campuran Indonesia-Jerman :D
Dunia sempit.com judulnya, saya pikir selama kami marah di negeri asing, bule-bule enggak akan mengerti, ternyata kami yang terkecoh hahahahaa..
Kemudian saya dan suami pun langsung meluncurkan pertanyaan2 karena rasa penasaran kami “Wahh hebat, bahasa Indonesia anda bagus sekali.. pernah ke Indonesia?” “pernah berapa lama tingggal di Indonesia?” dan bla bla bla pertanyaan2 lain...
Ternyata wanita ini asli Wina, pernah hampir 8 tahun tinggal bolak-balik Austria-Indonesia dan mengunjungi ke banyak kota di Indonesia. Artikulasi bahasa Indonesianya terdengar sangat jelas dan dia bisa memilih kata-kata yang tepat untuk berkomunikasi yang dipakai orang Indonesia umumnya. Dia juga sangat menyukai suasana dan kultur Indonesia termasuk makanan2nya. Kami terus mengobrol dalam bahasa Indonesia, sehigga penumpang lain memeperhatikan kami.
Sampai suatu ketika dia bertanya kepada saya “Anda muslim kan?” padahal saya pakai kerudung hehee...(belakangan saya mahfum, karena ternyata wanita2 orthodox pun banyak yang memakai kerudung ala muslimah Turki). Saya jawab “Ya”. Lalu dia bilang “Saya juga muslim”. Saya lalu mengejar dengan pertanyaan “Bagaimana anda bisa menjadi muslim?” dia lalu menceritakan, bahwa saat kejadian tsunami besar menghebohan tahun 2004 lalu dan memakan korban ribuan jiwa di banyak negara termasuk di Aceh itu dia sedang berada di sebuah desa pantai di Srilanka. Saya tidak menanyakan lebih lanjut apa yang dia lakukan saat itu di Srilanka. Mungkin berlibur. Yang jelas sejumlah 220 orang yang sedang berada di desa pantai itu semuanya meninggal tidak tertolong kecuali dia seorang diri yang berhasil selamat. Dan sejak itulah dia memeluk Islam. Saat mendengarkan ceritanya, tiba2 saja bulu kuduk saya berdiri, merinding, Subhanallah! Allah telah memberikan hidayah bagi hambaNya yang terbiasa hidup dalam gemerlapnya kota Wina yang sangat cantik dan dalam tatanan sosial masyarakat kristiani dengan cara yang tidak terduga. Saya berpikir mungkinkah di desa itu ada satu mesjid atau mushola yang tetap berdiri tegak sebagaimana halnya terjadi di Banda Aceh, sehingga dia memutuskan untuk memeluk Islam?? Wallahualam..
Karena belum sempat kami melanjutkan pembicaraan, tiba2 bus merah kendaraan kami telah sampai pada halte yang kami tuju. Mengingat waktu metro/u bahn tujuan kami berikutnya hampir tiba dan planning kami telah terjadwal maka kami pun dengan agak tergesa-gesa turun dari bus. Kaget dengan perhentian mendadak karena asik mengobrol. Wanita itu pun turun juga, hanya saja ke arah yang berlawanan dengan tujuan kami. Sempat terbersit dalam pikiran untuk menanyakan nama, alamat atau telepon... tapi karena pertemuan yang sangat singkat dan saya khawatir itu menjadi tidak sopan bagi kultur mereka maka saya pun mengurungkan niat tersebut. Kami berpisah, tersenyum sambil berkata "Sampai jumpa" dan saling melambaikan tangan. Belakangan saya menyesal, kenapa saya lupa menanyakan emailnya... mungkin dengan begitu komunikasi kami akan terus terjalin dan barangkali dia membutuhkan sesuatu atau informasi yang berhubungan dengan keIslamannya atau dengan Indonesia yang disukainya saya bisa membantunya. Tapi... ya sudahlah, saya tidak mempunyai mesin waktu dan memutar kembali ke kejadian saat itu. Saya hanya bisa mengirimkan do’a tulus baginya, siapa pun namanya dan dimanapun tinggalnya, untuk wanita mualaf itu, yang juga telah menyentakkan kesadaran kami, saya dan suami, bahwa kami tidak boleh menganggap enteng orang asing di hadapan kami tidak mengerti bahasa verbal dan non verbal dalam bahasa Indonesia sekalipun! Semoga saja iman Islamnya tetap terjaga dan dia diberikan kemudahan serta kelancaran menjalani agama baru dalam hidupnya. Amin.
Dresden, 15 November 2010
Siang itu di sekitar area Stephen’s Dom, Wina, sesudah kami cukup puas berputar-putar di oldcity dan akan menuju ke objek wisata berikutnya, saya dan suami agak sedikit bersitegang. Penyebabnya biasanya enggak jauh-jauh dari keinginan saya yang tidak bisa menahan diri untuk memotret mengabadikan gedung-gedung dan suasana nan indah di suatu kota baru yang pertama kali kami kunjungi, termasuk memotret anak-anak kami juga. Maklumlah, bagaimanapun nuansanya berbeda dengan Dresden hehee.. jadi saya pikir kapan lagi dalam waktu dekat bisa mengambil foto-foto pemandangan disitu. Apalagi kunjungan kami pun singkat, hanya menginap 2 malam di Wina padahal tempat yang akan kami kunjungi masih banyak, tidak mungkin satu objek sempat 2x terkujungi. Tetapi menurut suami, karena liburan itu milik kami bersama dan anak-anak pun berhak menikmatinya maka sangatlah tidak bijaksana seandainya saya asik sendiri menjeprat-jepret dan seolah-olah mengabaikan dia dan anak-anak. Oo…oo… padahal saya sama sekali tidak bermaksud begitu, saya pikir dalam kurun waktu singkat menjeprat-jepret itu, (seringnya pake automatic pula karena tidak ada waktu untuk mengatur-atur secara manual disamping kemampuan teknik yg belum canggih tentunya hehee) dan selama anak-anak termonitor dengan aman dibantu suami, saya juga sudah membuat kenang-kenangan bagi kami sekeluarga dan suatu saat bisa menunjukkan kepada anak-anak dan berkata “ooh ini lhoo foto kalian waktu di tempat anu di Wina… ooh itu lhoo gaya kalian waktu berkunjung ke Riesenrad..”. Seperti simbiose mutualisme begitulah… Tapi tentulah dua kepala akan punya dua pikiran yang berbeda. Well, okelah kalau begitu… kan istri harus nurut sama suami yah :))
Jadi, sambil masih kesal karena keinginan saya memotret tidak tersampaikan, :p naiklah kami kedalam sebuah bus merah yang khusus dipakai dalam jalur turis oldcity-nya Wina. Saya lupa istilahnya apa, yang jelas bus merah kecil itu berisi sedikit kursi dan penumpang yang tidak penuh, sebagian kursinya ada yang berhadapan seperti posisi kursi dalam angkot di Indonesia. Saya dan suami duduk berdampingan dan berhadapan dengan 2 orang asing didepan kami. Kami pun bicara yang singkat2 seperlunya karena satu sama lain masih merasa kesal. Anak-anak duduk diseberang samping kami dan asik mengoceh terus dalam bahasa Jerman membicarakan apa saja yang mereka lihat sepanjang perjalanan, sampai akhirnya si bungsu bertanya dalam bahasa Indonesia “Apa artinya drei (3) Musketeer?” lalu saya jawab, “ Mama enggak tau, yang mama tau cuma cerita filmnya Three Musketeers (filmnya Kiefer Sutherland) aja, tapi itu sama enggak ya?” Suami pun sama tidak faham betul.
Spontan, tiba-tiba saja salah satu penumpang dihadapan kami, wanita cantik pirang berusia sekitar 43 tahun dengan busana eksklusif dan simpatik bertanya kepada kami dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih “Anda berasal dari Indonesia?” saya dan suami tentu saja kaget sekali. Huahhh, bahasa tubuh kami yang sedang kesal dan bicara pendek2 itu tentulah dimengerti oleh orang itu :p Tiba-tiba saja kami merasa malu kepada diri sendiri... Lalu wanita itu bilang, bahwa dari tadi dia ingin bertanya kepada kami, tapi karena anak2 kami selalu bicara dalam bahasa Jerman maka dia hanya mengamati saja. Selanjutnya, dia menjelaskan arti 3 Musketeer kepada anak2 kami dalam bahasa campuran Indonesia-Jerman :D
Dunia sempit.com judulnya, saya pikir selama kami marah di negeri asing, bule-bule enggak akan mengerti, ternyata kami yang terkecoh hahahahaa..
Kemudian saya dan suami pun langsung meluncurkan pertanyaan2 karena rasa penasaran kami “Wahh hebat, bahasa Indonesia anda bagus sekali.. pernah ke Indonesia?” “pernah berapa lama tingggal di Indonesia?” dan bla bla bla pertanyaan2 lain...
Ternyata wanita ini asli Wina, pernah hampir 8 tahun tinggal bolak-balik Austria-Indonesia dan mengunjungi ke banyak kota di Indonesia. Artikulasi bahasa Indonesianya terdengar sangat jelas dan dia bisa memilih kata-kata yang tepat untuk berkomunikasi yang dipakai orang Indonesia umumnya. Dia juga sangat menyukai suasana dan kultur Indonesia termasuk makanan2nya. Kami terus mengobrol dalam bahasa Indonesia, sehigga penumpang lain memeperhatikan kami.
Sampai suatu ketika dia bertanya kepada saya “Anda muslim kan?” padahal saya pakai kerudung hehee...(belakangan saya mahfum, karena ternyata wanita2 orthodox pun banyak yang memakai kerudung ala muslimah Turki). Saya jawab “Ya”. Lalu dia bilang “Saya juga muslim”. Saya lalu mengejar dengan pertanyaan “Bagaimana anda bisa menjadi muslim?” dia lalu menceritakan, bahwa saat kejadian tsunami besar menghebohan tahun 2004 lalu dan memakan korban ribuan jiwa di banyak negara termasuk di Aceh itu dia sedang berada di sebuah desa pantai di Srilanka. Saya tidak menanyakan lebih lanjut apa yang dia lakukan saat itu di Srilanka. Mungkin berlibur. Yang jelas sejumlah 220 orang yang sedang berada di desa pantai itu semuanya meninggal tidak tertolong kecuali dia seorang diri yang berhasil selamat. Dan sejak itulah dia memeluk Islam. Saat mendengarkan ceritanya, tiba2 saja bulu kuduk saya berdiri, merinding, Subhanallah! Allah telah memberikan hidayah bagi hambaNya yang terbiasa hidup dalam gemerlapnya kota Wina yang sangat cantik dan dalam tatanan sosial masyarakat kristiani dengan cara yang tidak terduga. Saya berpikir mungkinkah di desa itu ada satu mesjid atau mushola yang tetap berdiri tegak sebagaimana halnya terjadi di Banda Aceh, sehingga dia memutuskan untuk memeluk Islam?? Wallahualam..
Karena belum sempat kami melanjutkan pembicaraan, tiba2 bus merah kendaraan kami telah sampai pada halte yang kami tuju. Mengingat waktu metro/u bahn tujuan kami berikutnya hampir tiba dan planning kami telah terjadwal maka kami pun dengan agak tergesa-gesa turun dari bus. Kaget dengan perhentian mendadak karena asik mengobrol. Wanita itu pun turun juga, hanya saja ke arah yang berlawanan dengan tujuan kami. Sempat terbersit dalam pikiran untuk menanyakan nama, alamat atau telepon... tapi karena pertemuan yang sangat singkat dan saya khawatir itu menjadi tidak sopan bagi kultur mereka maka saya pun mengurungkan niat tersebut. Kami berpisah, tersenyum sambil berkata "Sampai jumpa" dan saling melambaikan tangan. Belakangan saya menyesal, kenapa saya lupa menanyakan emailnya... mungkin dengan begitu komunikasi kami akan terus terjalin dan barangkali dia membutuhkan sesuatu atau informasi yang berhubungan dengan keIslamannya atau dengan Indonesia yang disukainya saya bisa membantunya. Tapi... ya sudahlah, saya tidak mempunyai mesin waktu dan memutar kembali ke kejadian saat itu. Saya hanya bisa mengirimkan do’a tulus baginya, siapa pun namanya dan dimanapun tinggalnya, untuk wanita mualaf itu, yang juga telah menyentakkan kesadaran kami, saya dan suami, bahwa kami tidak boleh menganggap enteng orang asing di hadapan kami tidak mengerti bahasa verbal dan non verbal dalam bahasa Indonesia sekalipun! Semoga saja iman Islamnya tetap terjaga dan dia diberikan kemudahan serta kelancaran menjalani agama baru dalam hidupnya. Amin.
Dresden, 15 November 2010
Sunday, February 5, 2012
Mendadak Seleb di Kota Hof
Salju turun lagi.
Padahal salju sebelumnya masih enggan meleleh, membuatnya bertumpuk dan
semakin tebal. Salju tebal diawal winter kali ini mengingatkan pada
kejadian setahun lalu saat puncaknya winter, yang dinginnya menggigit
dan mencapai minus 19 derajat celcius di Dresden. Salju tebal diatas
20 cm yang menyebabkan orang berjalan terseok-seok, tergelincir dan
memerlukan lebih banyak energi untuk sampai ke tujuan. Salju tebal yang
mengubah jadwal trem dalam kota berpindah jalur atau menjadi beberapa
puluh menit lebih lambat kedatangannya serta mencetus kecelakaan lalu
lintas di jalan raya meningkat tajam. Salju tebal yang membuat sebagian
pengendara roda empat lebih baik “mempensiunkan” sementara kendaraanya
dirumah daripada beresiko macet berjam-jam di jalanan tol, tergelincir,
selip atau kecelakaan di tengah jalan dalam cuaca yang muram. Amboi,
jauh sekali dari gambaran indahnya negeri bersalju selagi saya masih
di Indonesia!
Awal Januari 2010 dalam cuaca dingin bersalju yang menutupi hampir semua permukaan ladang, jalanan dan pemukiman sepulang kami sekeluarga berlibur tahun baru, dari Munchen kami menuju ke Dresden dengan menggunakan kereta. Sesampai di kota Hof - sebelah barat daya, 2 jam perjalanan dari Dresden - kota dimana kami transit, ternyata diinformasikan bahwa kereta yang kami tunggu mengalami keterlambatan. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena salju yang terlalu tebal sehingga menimbulkan kecelakaan lalu lintas, sedangkan rute yang kami tuju termasuk dalam zona kecelakaan tersebut. Maka delayed-lah kendaraan tumpangan kami itu sampai lebih 2 jam lamanya.
Waktu menunjukan pukul 13.20 dan perut kami bernyanyi kembali, padahal kami sudah makan perbekalan pukul 11an siang itu dalam kereta. Begini akibatnya kalau perut orang Indonesia diganjal roti. Istilah populernya, enggak nendang! Udara sangat dingin pun membuat perut kami jadi lebih sering keroncongan, bikin be-te bagi yang ingin menurunkan berat badan saja.. :(( Setelah berdiskusi dengan suami dan anak-anak, disamping kami belum melakukan sholat dhuhur pula maka kami memutuskan untuk singgah ke centrum kota Hof atau yang lebih dekat, mencari rumah makan dan mudah-mudahan menemukan mesjid juga.
Dalam salju tebal dan perlengkapan ‘tempur’ melawan dingin berikut tas punggung yang kami bawa, maka berjalanlah kami dari hauptbahnhof (stasiun utama) ke arah pusat kota yang petanya terpampang di salah satu dinding stasiun. Sambil mnyusuri jalanan bersalju mata kami selalu mencari-cari barangkali ada rumah makan Turki atau Cina yang terlewat. Syukurlah, sekitar 600 meter dari hauptbahnhof setelah bertanya-tanya pada orang-orang sekitar akhirnya kami menemukan restoran Turki, halal pula, namanya Sultan Palast. Bangunan dari luar tampak kecil tapi setelah masuk kedalamnya terasa bahwa restoran ini cukup luas terutama di lantai 2. Daftar harga makanan yang terpampang pun untuk standar daerah Bayern relatif tidak terlalu mahal, sama seperti harga rata-rata makanan Turki umumnya. Saya dan suami memesan masing-masing satu porsi makanan, begitu pula anak-anak, hanya saja mereka memesan Kids Menu dalam porsi lebih kecil yang isinya tidak jauh-jauh dari kentang goreng dengan salad berikut ayam kesukaan mereka.
Ternyata menu pesanan saya Hawaiian Dönerteller, döner dengan potongan daging sapi muda (kalb), sayuran dan nenas jauh lebih banyak dari yang dibayangkan, padahal harganya waktu itu hanya 4,5 euro. Saya sampai tak mampu menghabiskannya karena terlalu banyak. Suami pun tidak bisa membantu seperti biasanya karena makanan pesanannya seharga 7 euro jauh lebih banyak lagi !
Tapi ada yang lain kali itu, selama saya makan döner dimanapun, belum pernah saya merasakan döner seenak itu. Sausnya terasa berbeda dari saus-saus umumnya, warnanya kuning terang dan terasa seperti dicampur sedikit bumbu kari. Lezat betul, pas sekali dengan potongan nenas yang ada didalamnya. Terasa segar di lidah. Tapi biar begitu saya tetap tak mampu menghabiskannya sendiri, perut ini terlalu penuh rasanya. Jangan sampai nanti jadi sulit berjalan kaki karena kami masih harus mencari mesjid. Untunglah para pelayan yang ramah dan menanyakan negara asal kami mau menunjukkah di mana mesjid berada. Beruntung lagi karena jarak mesjid tidak jauh dan terlihat pandangan mata dari restoran. Maka dalam salju yang perlahan turun lagi kami berjalan menuju ke arah mesjid, yang bangunannya dari luar sama sekali jauh dari kesan mesjid di Indonesia. Seperti bangunan apartemen umumnya, yang disewa atau dibeli oleh para jamaahnya, itu yang membuat agak sulit dicari bila kita tidak tahu sebelumnya atau paling tidak pernah mendengar di daerah mana lokasinya.
Didepan mesjid kami membaca sekilas tulisan yang terpampang disamping pintunya : Ayasofya Camii, Koenigstrasse 64 Hof. Kami masuk kedalam, bertemu dan saling mengucap salam dengan seorang bapak yang sepertinya baru selesai berwudhu. Dia sempat menanyakan asal kami, dan kami jawab dari Indonesia, responnya baik. Karena anak-anak dan barang-barang tidak ada yang menjaga maka saya dan suami sepakat bergantian shalat, bagaimanapun di daerah baru dan asing kami harus selalu berhati-hati. Tiba-tiba bapak yang megucap salam tadi berkata pada kami “Perempuan sholatnya di atas” sambil menunjukkan tangan keatas. Oooh... jadi ada ruangan perempuan terpisah juga rupanya, syukurlah batin saya dalam hati., refleks mata saya melihat keatas bangunan. Lalu bapak itu tanpa diminta berjalan menaiki tangga dan mengetuk pintu ruangan di atas. Saya memperhatikan dari bawah, dari balik pintu muncul seorang wanita cantik berkerudung. Sayup-sayup terdengar mereka berbicara dalam bahasa yang tidak saya mengerti, mungkin Turki atau Arab. Kemudian bapak itu turun lagi sambil mempersilahkan saya ke atas, dan wanita tadi tersenyum menyambut saya dan menyuruh saya dan anak-anak masuk kedalam. Setelah masuk kedalam di bagian koridor, selagi saya dan anak-anak melepaskan sepatu, perempuan itu bertanya kepada saya “Anda berasal dari mana?” saya jawab “dari Indonesia” . Lalu perempuan itu berjalan keruangan lain. Saya pun melanjutkan membantu anak-anak melepaskan perlengkapan yang saat winter jadi banyak ‘ritual’ yang harus dilakukan ; melepaskan jaket tebal, syal, topi hangat, sarung tangan dan embel-embel lainnya. Huahh, begitu merepotkannya kau winter!
Baru saja selesai melakukan “ritual” tersebut tiba-tiba dari ujung koridor lain bermunculan para perempuan cantik berkerudung, ibu-ibu, remaja dan anak-anak. Mereka menyalami saya dengan ramah “Assalamu’alaikum”... menanyakan asal saya, mengelilingi saya, Kinan dan Obbie, sebagian lagi memegang bahu saya, menyentuh kerudung, mengelus-elus manik-manik di kerudung saya dan menanyakan pertanyaan ramah lainya kepada saya, juga kepada anak-anak. Baiik sekali mereka, bahkan menurut saya terlalu baik dan terlalu ramah untuk kesan pertemuan pertama kali. Saya malah jadi merasa heran, sedikit curiga dan bertanya-tanya dalam hati “Koq bisaa ya???”
Tangan saya ditarik salah seorang ke ruangan cukup luas dibalik dinding koridor itu, dan rupanya disitu telah berkumpul sekitar 30an perempuan, tua muda. Di ujung ruangan terdapat dapur cantik dengan “island” dan perlengkapan serba modern berwarna krem. Beberapa wanita tampak berdiri di depan pantri menyiapkan makanan dan sebagian besar lagi duduk diatas beberapa bangku panjang mengapit meja besar panjang yang dipenuhi dengan beragam makanan; kue-kue, nasi, daging dan lain-lain. Sepertinya sedang ada perayaan atau semacam pesta disitu. Seorang wanita yang sejak di koridor tadi paling sangat ramah menanyai saya, mempersilahkan saya duduk dan memperkenalkan saya pada yang hadir disitu dan -tentu saja- mengatakan sekali lagi bahwa saya dari Indonesia. Dan berdatanganlah tawaran untuk memakan ini dan itu, teh, kopi, susu dan lain-lain, sambil beberapa wanita tetap berdiri mengelilingi saya yang tanpa sadar sudah ikut duduk bergabung di bangku panjang menghadap meja besar itu. Antusias sekali mereka tampaknya terhadap saya. “Ada apa ya??” batin saya dalam hati. Tiba – tiba saja saya serasa mendadak jadi selebriti! Alih–alih berpikir lanjut, saya hanya membatin “Ooh begini mungkin rasanya menjadi Titi Kamal itu...” Cuma kurang minta tanda tangan saja. Hahahaaa !!
Sayangnya perut saya masih sangat penuh karena döner tadi, jadi saya tidak berselera memakannya.Mungkin hal ini memberikan impresi lain bagi mereka tentang perempuan Indonesia ; mengapa ukuran tubuh perempuan Indonesia tetap mungil dibandingkan ukuran tubuh mereka. Padahal seandainya saja perut ini kosong pastilah semua sudah saya cicipi karena terkesan dengan beberapa macam makanan asing yang baru pertama kali dilihat.. Sayangnya lagi saya tidak diperbolehkan memotret mereka sewaktu saya meminta izin sebelumnya. Malah seorang ibu paruh baya tiba-tiba raut mukanya berubah mengeras setelah mendengar permintaan saya itu. Belakangan setelah bubar sholat maghrib -yang saat itu jatuh sekitar pk.16.30an- dan sebagian perempuan pulang ke rumah, saya baru menyadari bahwa diantara mereka yang berada dalam ruangan tadi keluar mesjid dengan mengenakan cadar !
Hari itu minggu, entah sejak kapan dimulai setiap hari minggu menjadi jadwal pertemuan rutin di mesjid muslimah Ayasofya sambil mengaji. Sepertinya mereka semua orang-orang Turki karena saya tidak menanyakanya. Tapi mesjid itu memang mesjid Turki di Hof. Dan setelah berbincang-bincang agak lama sambil minum teh barulah saya mengerti alasan saya diperlakukan istimewa begitu. Selidik punya selidik rupanya setiap sebulan sekali mereka memanggil penceramah muslimah datang kesitu, bisa dari dalam dan luar negeri. Penceramah terakhir berasal dari Malaysia, tapi saya lupa menanyakan namanya. Dan sepertinya mereka sangat terkesan dengan ibu ustadzah tersebut. Beruntunglah saya, karena ditengah-tengah ‘hubungan memanas’ Indonesia dengan Malaysia di tahun-tahun sebelumnya atas kasus-kasus mulai dari TKI, Selat Ambalat, batik, penangkapan kapal nelayan asing, lagu Rasa Sayange sampai Manohara, masih ada wanita mulia yang membicarakan hal-hal baik tentang Indonesia, tentang keramah tamahan penduduknya, keindahan pulau-pulaunya, tentang banyaknya perempuan berhijab disana tapi selalu modis, dan lain-lain yang tidak saya ketahui secara detail. Hanya saja dari pengalaman yang saya peroleh tentang bagaimana cara mereka memperlakukan saya dan anak-anak dengan sangat sangat baik, ceramah ustadzah itu tentu membuat mereka merasa antusias dan sangat ingin mengenal Indonesia dan juga mengunjunginya. Beruntunglah saya, waktu itu saya datang pada saat yang tepat. Salah seorang perempuan berkata pada saya “Kami semua tertarik tentang Indonesia dan sedang berandai-andai bilamana kami bisa kesana dan tiba-tiba datanglah anda...” Jadi, saya mendapatkan durian runtuh! Durian yang diperoleh karena kemuliaan hati ustadzah Malaysia itu. Saya jadi bertanya pada mereka, apakah mereka tidak pernah bertemu orang Indonesia disitu? Katanya sih, tidak. Saya sendiri tidak yakin dengan jawaban itu, kemana gerangan wahai orang Indonesia di Hof? Saya tahu mereka selalu ada di seluruh pernjuru kota di Jerman! Keasikan berbincang-bincang dengan mereka, membuat saya lupa bahwa saya ke mesjid sebetulnya untuk shalat, akhirnya saya ringkas shalat dhuhur di waktu ashar.
Lain lagi dengan pengalaman anak-anak. Demi melihat ibunya dikerumuni dan banyak ditanyai para ibu di ruangan makan merangkap dapur itu, diam-diam mereka diajak para ABG dan anak lainnya keluar ruang tersebut, bermain diruangan lain yang lebih luas -tempat shalat berjamaah- berkarpet tebal. Kinan dan Obbie dikelilingi anak-anak dan para ABG yang cantik-cantik itu. Mereka memberikan buku dan alat tulis, juga banyak pula menanyai dan mengetes anak-anak saya. Mereka heran karena Kinan yang bertubuh kecil sudah pandai membaca huruf Latin, lancar membaca Al-Qur’an dan berhitung. Ya jelas saja, waktu itu Kinan hampir berumur 7,5 tahun. Lagi pula sejak di Indonesia sesudah tamat Iqra, Kinan tidak mau baca Juz Amma, maunya langsung baca Al Qur’an besar dan membaca surat Al-Baqaraah yang sampai sekarang belum tamat juga karena saya lebih sering mengajari surat-surat pendek sebagai bekal bacaan shalat. Jadi mereka terpedaya oleh tubuh kecilnya dibandingkan ukuran tubuh mereka hehee.. Mereka semuanya cantik dan lembut, yang saya ingat satu orang ABG bernama Aisyah. Namun kali ini saya boleh bersenang hati, karena teman-teman kecil ini bahkan para ABG tak berkeberatan saya curi-curi fotonya bahkan mereka kemudian mau bergaya depan kamera, jadi saya masih punya kenang-kenangan tentang pengalaman di Hof :-))
Setelah saya dan anak-anak selesai sholat maghrib, kami pun berpamitan pada sebagian orang yang masih tinggal disana dan turun mencari suami yang hampir 2 jam lamanya tertinggal di bawah.
Ternyata suami pun memiliki pengalaman serupa, dia diperlakukan dengan baik oleh orang-orang yang sholat berjamaah disitu, berdiskusi, dijamu minum teh, kopi di kantin mesjid bahkan dibekali makanan khas Turki serta beberapa kue diatas piring kertas dari hidangan mesjid. Katanya, untuk bekal dalam perjalanan di kereta. Padahal kami jelas sudah tak sanggup lagi memakannya! Selain itu salah satu orang Turki teman bicaranya disitu yang ternyata seorang engineer dan bekerja di perusahaan semikonduktor juga akhirnya jadi ‘nyambung’ dalam diskusi panjang dengan suami, bahkan berbaik hati mau mengantarkan kami dengan mobilnya sampai ke hauptbahnhof. Waktu kami sempat menayakan “Mengapa anda begitu baik kepada kami?” Yang terluncur dari mulutnya hanya “Sebagai sesama muslim kita harus baik dan saling menolong!” Adem betul mendengarnya, singkat tapi sarat makna. Membuat saya jadi menerawang memikirkan seandainya saja di Indonesia seluruh muslimin-muslimah mempunyai pemikiran yang sama seperti itu.... maka damailah negeriku.
Kami bersyukur dengan kebaikannya untuk mengantar kami, karena tanpa disadari salju diluar ternyata turun semakin lebat selama kami berada dalam mesjid dan langit berubah gelap. Kami pulang dengan diantarkan 3 ABG yang cantik-cantik itu sampai ke pintu mobil di depan mesjid. Salju yang turun tak mereka hiraukan. Mereka menunggu kami dan melambaikan tangan sampai pandangan tak terlihat. Akhirnya, kami pulang ke Dresden dengan jadwal kereta berikutnya karena kereta yang semula kami tunggu sudah lama berlalu. Namun begitu kami merasa puas dan bahagia karena hari itu mendapatkan pengalaman luar biasa yang semakin menanamkan keyakinan dalam diri kami bahwa diluar sana masih banyak orang-orang baik hati yang siap membantu kapan saja, dimana saja, di negeri asing sekalipun .
Lewat kartu pos yang saya beli menjelang kereta datang, saya melihat beberapa objek wisata menarik di Hof dan terbersit untuk mengunjunginya. Nantikan kami Hof, suatu saat kami akan kembali lagi, mengunjungi mesjid yang sama dan menjelajahi kota cantikmu itu.
Kirchheim Teck, 2012. ( Tulisanku lebih setahun lalu... yang pengalamannya selalu terpatri manis dalam hati)
**Restoran Sultan Palast : http://www.sultan-hof.de/index.php?content=galerie
**Hof, Germany : http://de.wikipedia.org/wiki/Hof_%28Saale%29
Awal Januari 2010 dalam cuaca dingin bersalju yang menutupi hampir semua permukaan ladang, jalanan dan pemukiman sepulang kami sekeluarga berlibur tahun baru, dari Munchen kami menuju ke Dresden dengan menggunakan kereta. Sesampai di kota Hof - sebelah barat daya, 2 jam perjalanan dari Dresden - kota dimana kami transit, ternyata diinformasikan bahwa kereta yang kami tunggu mengalami keterlambatan. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena salju yang terlalu tebal sehingga menimbulkan kecelakaan lalu lintas, sedangkan rute yang kami tuju termasuk dalam zona kecelakaan tersebut. Maka delayed-lah kendaraan tumpangan kami itu sampai lebih 2 jam lamanya.
Waktu menunjukan pukul 13.20 dan perut kami bernyanyi kembali, padahal kami sudah makan perbekalan pukul 11an siang itu dalam kereta. Begini akibatnya kalau perut orang Indonesia diganjal roti. Istilah populernya, enggak nendang! Udara sangat dingin pun membuat perut kami jadi lebih sering keroncongan, bikin be-te bagi yang ingin menurunkan berat badan saja.. :(( Setelah berdiskusi dengan suami dan anak-anak, disamping kami belum melakukan sholat dhuhur pula maka kami memutuskan untuk singgah ke centrum kota Hof atau yang lebih dekat, mencari rumah makan dan mudah-mudahan menemukan mesjid juga.
Dalam salju tebal dan perlengkapan ‘tempur’ melawan dingin berikut tas punggung yang kami bawa, maka berjalanlah kami dari hauptbahnhof (stasiun utama) ke arah pusat kota yang petanya terpampang di salah satu dinding stasiun. Sambil mnyusuri jalanan bersalju mata kami selalu mencari-cari barangkali ada rumah makan Turki atau Cina yang terlewat. Syukurlah, sekitar 600 meter dari hauptbahnhof setelah bertanya-tanya pada orang-orang sekitar akhirnya kami menemukan restoran Turki, halal pula, namanya Sultan Palast. Bangunan dari luar tampak kecil tapi setelah masuk kedalamnya terasa bahwa restoran ini cukup luas terutama di lantai 2. Daftar harga makanan yang terpampang pun untuk standar daerah Bayern relatif tidak terlalu mahal, sama seperti harga rata-rata makanan Turki umumnya. Saya dan suami memesan masing-masing satu porsi makanan, begitu pula anak-anak, hanya saja mereka memesan Kids Menu dalam porsi lebih kecil yang isinya tidak jauh-jauh dari kentang goreng dengan salad berikut ayam kesukaan mereka.
Ternyata menu pesanan saya Hawaiian Dönerteller, döner dengan potongan daging sapi muda (kalb), sayuran dan nenas jauh lebih banyak dari yang dibayangkan, padahal harganya waktu itu hanya 4,5 euro. Saya sampai tak mampu menghabiskannya karena terlalu banyak. Suami pun tidak bisa membantu seperti biasanya karena makanan pesanannya seharga 7 euro jauh lebih banyak lagi !
Tapi ada yang lain kali itu, selama saya makan döner dimanapun, belum pernah saya merasakan döner seenak itu. Sausnya terasa berbeda dari saus-saus umumnya, warnanya kuning terang dan terasa seperti dicampur sedikit bumbu kari. Lezat betul, pas sekali dengan potongan nenas yang ada didalamnya. Terasa segar di lidah. Tapi biar begitu saya tetap tak mampu menghabiskannya sendiri, perut ini terlalu penuh rasanya. Jangan sampai nanti jadi sulit berjalan kaki karena kami masih harus mencari mesjid. Untunglah para pelayan yang ramah dan menanyakan negara asal kami mau menunjukkah di mana mesjid berada. Beruntung lagi karena jarak mesjid tidak jauh dan terlihat pandangan mata dari restoran. Maka dalam salju yang perlahan turun lagi kami berjalan menuju ke arah mesjid, yang bangunannya dari luar sama sekali jauh dari kesan mesjid di Indonesia. Seperti bangunan apartemen umumnya, yang disewa atau dibeli oleh para jamaahnya, itu yang membuat agak sulit dicari bila kita tidak tahu sebelumnya atau paling tidak pernah mendengar di daerah mana lokasinya.
Didepan mesjid kami membaca sekilas tulisan yang terpampang disamping pintunya : Ayasofya Camii, Koenigstrasse 64 Hof. Kami masuk kedalam, bertemu dan saling mengucap salam dengan seorang bapak yang sepertinya baru selesai berwudhu. Dia sempat menanyakan asal kami, dan kami jawab dari Indonesia, responnya baik. Karena anak-anak dan barang-barang tidak ada yang menjaga maka saya dan suami sepakat bergantian shalat, bagaimanapun di daerah baru dan asing kami harus selalu berhati-hati. Tiba-tiba bapak yang megucap salam tadi berkata pada kami “Perempuan sholatnya di atas” sambil menunjukkan tangan keatas. Oooh... jadi ada ruangan perempuan terpisah juga rupanya, syukurlah batin saya dalam hati., refleks mata saya melihat keatas bangunan. Lalu bapak itu tanpa diminta berjalan menaiki tangga dan mengetuk pintu ruangan di atas. Saya memperhatikan dari bawah, dari balik pintu muncul seorang wanita cantik berkerudung. Sayup-sayup terdengar mereka berbicara dalam bahasa yang tidak saya mengerti, mungkin Turki atau Arab. Kemudian bapak itu turun lagi sambil mempersilahkan saya ke atas, dan wanita tadi tersenyum menyambut saya dan menyuruh saya dan anak-anak masuk kedalam. Setelah masuk kedalam di bagian koridor, selagi saya dan anak-anak melepaskan sepatu, perempuan itu bertanya kepada saya “Anda berasal dari mana?” saya jawab “dari Indonesia” . Lalu perempuan itu berjalan keruangan lain. Saya pun melanjutkan membantu anak-anak melepaskan perlengkapan yang saat winter jadi banyak ‘ritual’ yang harus dilakukan ; melepaskan jaket tebal, syal, topi hangat, sarung tangan dan embel-embel lainnya. Huahh, begitu merepotkannya kau winter!
Baru saja selesai melakukan “ritual” tersebut tiba-tiba dari ujung koridor lain bermunculan para perempuan cantik berkerudung, ibu-ibu, remaja dan anak-anak. Mereka menyalami saya dengan ramah “Assalamu’alaikum”... menanyakan asal saya, mengelilingi saya, Kinan dan Obbie, sebagian lagi memegang bahu saya, menyentuh kerudung, mengelus-elus manik-manik di kerudung saya dan menanyakan pertanyaan ramah lainya kepada saya, juga kepada anak-anak. Baiik sekali mereka, bahkan menurut saya terlalu baik dan terlalu ramah untuk kesan pertemuan pertama kali. Saya malah jadi merasa heran, sedikit curiga dan bertanya-tanya dalam hati “Koq bisaa ya???”
Tangan saya ditarik salah seorang ke ruangan cukup luas dibalik dinding koridor itu, dan rupanya disitu telah berkumpul sekitar 30an perempuan, tua muda. Di ujung ruangan terdapat dapur cantik dengan “island” dan perlengkapan serba modern berwarna krem. Beberapa wanita tampak berdiri di depan pantri menyiapkan makanan dan sebagian besar lagi duduk diatas beberapa bangku panjang mengapit meja besar panjang yang dipenuhi dengan beragam makanan; kue-kue, nasi, daging dan lain-lain. Sepertinya sedang ada perayaan atau semacam pesta disitu. Seorang wanita yang sejak di koridor tadi paling sangat ramah menanyai saya, mempersilahkan saya duduk dan memperkenalkan saya pada yang hadir disitu dan -tentu saja- mengatakan sekali lagi bahwa saya dari Indonesia. Dan berdatanganlah tawaran untuk memakan ini dan itu, teh, kopi, susu dan lain-lain, sambil beberapa wanita tetap berdiri mengelilingi saya yang tanpa sadar sudah ikut duduk bergabung di bangku panjang menghadap meja besar itu. Antusias sekali mereka tampaknya terhadap saya. “Ada apa ya??” batin saya dalam hati. Tiba – tiba saja saya serasa mendadak jadi selebriti! Alih–alih berpikir lanjut, saya hanya membatin “Ooh begini mungkin rasanya menjadi Titi Kamal itu...” Cuma kurang minta tanda tangan saja. Hahahaaa !!
Sayangnya perut saya masih sangat penuh karena döner tadi, jadi saya tidak berselera memakannya.Mungkin hal ini memberikan impresi lain bagi mereka tentang perempuan Indonesia ; mengapa ukuran tubuh perempuan Indonesia tetap mungil dibandingkan ukuran tubuh mereka. Padahal seandainya saja perut ini kosong pastilah semua sudah saya cicipi karena terkesan dengan beberapa macam makanan asing yang baru pertama kali dilihat.. Sayangnya lagi saya tidak diperbolehkan memotret mereka sewaktu saya meminta izin sebelumnya. Malah seorang ibu paruh baya tiba-tiba raut mukanya berubah mengeras setelah mendengar permintaan saya itu. Belakangan setelah bubar sholat maghrib -yang saat itu jatuh sekitar pk.16.30an- dan sebagian perempuan pulang ke rumah, saya baru menyadari bahwa diantara mereka yang berada dalam ruangan tadi keluar mesjid dengan mengenakan cadar !
Hari itu minggu, entah sejak kapan dimulai setiap hari minggu menjadi jadwal pertemuan rutin di mesjid muslimah Ayasofya sambil mengaji. Sepertinya mereka semua orang-orang Turki karena saya tidak menanyakanya. Tapi mesjid itu memang mesjid Turki di Hof. Dan setelah berbincang-bincang agak lama sambil minum teh barulah saya mengerti alasan saya diperlakukan istimewa begitu. Selidik punya selidik rupanya setiap sebulan sekali mereka memanggil penceramah muslimah datang kesitu, bisa dari dalam dan luar negeri. Penceramah terakhir berasal dari Malaysia, tapi saya lupa menanyakan namanya. Dan sepertinya mereka sangat terkesan dengan ibu ustadzah tersebut. Beruntunglah saya, karena ditengah-tengah ‘hubungan memanas’ Indonesia dengan Malaysia di tahun-tahun sebelumnya atas kasus-kasus mulai dari TKI, Selat Ambalat, batik, penangkapan kapal nelayan asing, lagu Rasa Sayange sampai Manohara, masih ada wanita mulia yang membicarakan hal-hal baik tentang Indonesia, tentang keramah tamahan penduduknya, keindahan pulau-pulaunya, tentang banyaknya perempuan berhijab disana tapi selalu modis, dan lain-lain yang tidak saya ketahui secara detail. Hanya saja dari pengalaman yang saya peroleh tentang bagaimana cara mereka memperlakukan saya dan anak-anak dengan sangat sangat baik, ceramah ustadzah itu tentu membuat mereka merasa antusias dan sangat ingin mengenal Indonesia dan juga mengunjunginya. Beruntunglah saya, waktu itu saya datang pada saat yang tepat. Salah seorang perempuan berkata pada saya “Kami semua tertarik tentang Indonesia dan sedang berandai-andai bilamana kami bisa kesana dan tiba-tiba datanglah anda...” Jadi, saya mendapatkan durian runtuh! Durian yang diperoleh karena kemuliaan hati ustadzah Malaysia itu. Saya jadi bertanya pada mereka, apakah mereka tidak pernah bertemu orang Indonesia disitu? Katanya sih, tidak. Saya sendiri tidak yakin dengan jawaban itu, kemana gerangan wahai orang Indonesia di Hof? Saya tahu mereka selalu ada di seluruh pernjuru kota di Jerman! Keasikan berbincang-bincang dengan mereka, membuat saya lupa bahwa saya ke mesjid sebetulnya untuk shalat, akhirnya saya ringkas shalat dhuhur di waktu ashar.
Lain lagi dengan pengalaman anak-anak. Demi melihat ibunya dikerumuni dan banyak ditanyai para ibu di ruangan makan merangkap dapur itu, diam-diam mereka diajak para ABG dan anak lainnya keluar ruang tersebut, bermain diruangan lain yang lebih luas -tempat shalat berjamaah- berkarpet tebal. Kinan dan Obbie dikelilingi anak-anak dan para ABG yang cantik-cantik itu. Mereka memberikan buku dan alat tulis, juga banyak pula menanyai dan mengetes anak-anak saya. Mereka heran karena Kinan yang bertubuh kecil sudah pandai membaca huruf Latin, lancar membaca Al-Qur’an dan berhitung. Ya jelas saja, waktu itu Kinan hampir berumur 7,5 tahun. Lagi pula sejak di Indonesia sesudah tamat Iqra, Kinan tidak mau baca Juz Amma, maunya langsung baca Al Qur’an besar dan membaca surat Al-Baqaraah yang sampai sekarang belum tamat juga karena saya lebih sering mengajari surat-surat pendek sebagai bekal bacaan shalat. Jadi mereka terpedaya oleh tubuh kecilnya dibandingkan ukuran tubuh mereka hehee.. Mereka semuanya cantik dan lembut, yang saya ingat satu orang ABG bernama Aisyah. Namun kali ini saya boleh bersenang hati, karena teman-teman kecil ini bahkan para ABG tak berkeberatan saya curi-curi fotonya bahkan mereka kemudian mau bergaya depan kamera, jadi saya masih punya kenang-kenangan tentang pengalaman di Hof :-))
Setelah saya dan anak-anak selesai sholat maghrib, kami pun berpamitan pada sebagian orang yang masih tinggal disana dan turun mencari suami yang hampir 2 jam lamanya tertinggal di bawah.
Ternyata suami pun memiliki pengalaman serupa, dia diperlakukan dengan baik oleh orang-orang yang sholat berjamaah disitu, berdiskusi, dijamu minum teh, kopi di kantin mesjid bahkan dibekali makanan khas Turki serta beberapa kue diatas piring kertas dari hidangan mesjid. Katanya, untuk bekal dalam perjalanan di kereta. Padahal kami jelas sudah tak sanggup lagi memakannya! Selain itu salah satu orang Turki teman bicaranya disitu yang ternyata seorang engineer dan bekerja di perusahaan semikonduktor juga akhirnya jadi ‘nyambung’ dalam diskusi panjang dengan suami, bahkan berbaik hati mau mengantarkan kami dengan mobilnya sampai ke hauptbahnhof. Waktu kami sempat menayakan “Mengapa anda begitu baik kepada kami?” Yang terluncur dari mulutnya hanya “Sebagai sesama muslim kita harus baik dan saling menolong!” Adem betul mendengarnya, singkat tapi sarat makna. Membuat saya jadi menerawang memikirkan seandainya saja di Indonesia seluruh muslimin-muslimah mempunyai pemikiran yang sama seperti itu.... maka damailah negeriku.
Kami bersyukur dengan kebaikannya untuk mengantar kami, karena tanpa disadari salju diluar ternyata turun semakin lebat selama kami berada dalam mesjid dan langit berubah gelap. Kami pulang dengan diantarkan 3 ABG yang cantik-cantik itu sampai ke pintu mobil di depan mesjid. Salju yang turun tak mereka hiraukan. Mereka menunggu kami dan melambaikan tangan sampai pandangan tak terlihat. Akhirnya, kami pulang ke Dresden dengan jadwal kereta berikutnya karena kereta yang semula kami tunggu sudah lama berlalu. Namun begitu kami merasa puas dan bahagia karena hari itu mendapatkan pengalaman luar biasa yang semakin menanamkan keyakinan dalam diri kami bahwa diluar sana masih banyak orang-orang baik hati yang siap membantu kapan saja, dimana saja, di negeri asing sekalipun .
Lewat kartu pos yang saya beli menjelang kereta datang, saya melihat beberapa objek wisata menarik di Hof dan terbersit untuk mengunjunginya. Nantikan kami Hof, suatu saat kami akan kembali lagi, mengunjungi mesjid yang sama dan menjelajahi kota cantikmu itu.
Kirchheim Teck, 2012. ( Tulisanku lebih setahun lalu... yang pengalamannya selalu terpatri manis dalam hati)
**Restoran Sultan Palast : http://www.sultan-hof.de/index.php?content=galerie
**Hof, Germany : http://de.wikipedia.org/wiki/Hof_%28Saale%29
OMG!! Pendidikan Sex di Usia Kindergarten ???
Judul diatas sempat menjadi topik menarik bapak2, ibu2 dan lajangers
saat kami para Dresdener kumpul bersama menyambut malam tahun baru 2011
di rumah salah seorang teman Indonesia kami. Setelah sempat
berbulan-bulan tertunda karena kesibukan yang tidak jelas, akhirnya
tersampaikan juga saya menuangkan pegalaman ini. Bagi saya pribadi, ini
menjadi salah satu renungan di penghujung tahun 2010. Saya yakin,
kegelisahan ini tidak hanya dialami para orang tua yang tinggal dan
menyekolahkan anaknya di Jerman saja, tapi juga di seluruh Eropa atau
belahan dunia manapun yang notabene kulturnya barat dan dan sangat
berbeda dengan nilai-nilai di Indonesia. Tanpa mengurangi rasa
kesopanan, foto-foto yang berasal dari sebuah buku bacaan anak usia
Kindergarten dan menjadi objek pembicaraan kami saat itu saya tampilkan
disini dengan harapan agar kita para orang tua lebih siap dan
responsif.
Pengalaman ini sebetulnya tidak disengaja, bermula dari liburan Natal tahun lalu saat salju dingin mengguyur dan tebal menyelimuti Dresden. Sambil memenuhi keinginan anak2 yang ingin bermain seluncur dengan schlitten diluar, kami bertiga menuju bibliothek –perpustakaan-- kota yang jaraknya sekitar 250 meter dari rumah. Seperti biasa, sesampainya di bibliothek saya langsung ke arah rak dimana film-film DVD tersusun dan anak-anak menuju ke pojok baca ruangan buku anak-anak. Setelah memilih beberapa DVD dan buku-buku yang akan dipinjam saya pun menyusul ke ruangan baca anak.
Saya lihat si sulung duduk diatas tatami mini berkarpet dengan bantal-bantalnya sedang asik menekur membaca buku Donad Duck, si bungsu pun demikian, asik membuka-buka buku yang dipegangnya. Saya perhatikan judulnya “Woher die kleinen Kinder kommen” (Darimana anak kecil berasal) Saya tersenyum sendiri dalam hati, untunglah kalau dalam buku tersebut ada penjelasan yang bisa memudahkan saya menerangkan darimana bayi berasal seperti yang selama ini pernah ditanyakan Kinan dan Obbie. Anak-anak memang sedang masanya ingin tahu, dan selama ini saya hanya menjawab bahwa mereka keluar dari perut mamanya setelah berusia 9 bulan 10 hari dan bla bla bla.. tanpa penjelasan bagaimana cara memproduksinya tentu saja hehehe..
Tak lama setelah saya ikut merebahkan diri diatas tatami, Obbie (kelas 1 SD, saat itu 6,5 thn) menghampiri saya yang sedang duduk disebelah tetehnya. Dia bilang „Mama di bibliothek kindergarten Obbie dulu juga ada buku ini, juga yang ini, ini, ini“ sambil menunjukkan kearah susunan buku lain di rak buku yang hampir serupa jilidnya dengan judul berbeda. Lalu „Mama, Obbie mau pinjam buku ini“ aku jawab „Iya. Mama boleh baca juga kan?“ dia mengangguk sambil melihat-lihat ke arah buku lainnya yang berjejer rapi di rak. Aku pun lalu mulai membuka-buka dan membacanya. Halaman-halaman dalam buku itu memiliki jendel-jendela yang bisa dibuka dengan gambar yang berbeda didalamnya. Halaman pertama dan kedua tentang anatomi, ada gambar anak kecil laki-laki dan perempuan berbaju. Begitu dibuka, maka terdapat gambar dibalik jendela itu keduanya telanjang lengkap dengan alat kelaminnya. Lalu ada gambar perempuan dan laki-laki dewasa, yang dibalik jendela2nya juga memperlihatkan alat reproduksinya. Oohh... ini pelajaran waktu saya kelas 2 SMP, batin saya dalam hati. Kemudian sampailah saya pada gambar seorang anak laki-laki yang sedang berdiri di depan pintu kamar orang tuanya, disitu tertulis pertanyaan „.Ob Mama und Papa schon wach sind?.“ (Ketika mama dan papa sudah bangun?) Dan begitu jendela kecil diatas gambar tersebut dibuka..... Masya Allah!!! Saya terkesiap dengan gambarnya. Meskipun tidak sampai shock berat tapi saya sempat terbengong bengong hilang pikiran dan beberapa saat jantung saya serasa berhenti berdenyut. Dibawah jendela gambar pintu kamar itu terdapat gambar laki-laki dan perempuan dewasadalam posisi berhubungan intim dengan perempuan diatas!! Saya mencari-cari ke arah cover buku, benarkah buku itu bacaan untuk anak (???) dan ternyata memang di bagian belakang cover buku tersebut terdapat tulisan seri „Kindergartenalter“
Yang lebih parah lagi, gambar itu disertai tulisan penjelasan bagaimana orang tua sebagai pasangan, memadu kasih dibalik pintu kamar tidur yang bila diterjemahkan menurut saya terasa vulgar buat anak seusia kindergarten.
Huhuhuhuu.... ingin menangis dan menjerit saja rasanya, mengapa gambar seperti itu sekalipun berupa kartun harus ada dalam buku tersebut??? Saya belum siap menerima kenyataan bahwa Obbie pernah melihat gambar itu diusianya selagi sekolah di Kindergarten!!
Sambil menata hati dan menimbang-nimbang bagaimana saya harus menyikapi kejadian tersebut dengan jernih, saya diam beberapa menit, berpikir keras mencari cara agar saya bisa mengorek ‚rahasia’ apa saja yang sudah diperolehnya dulu. Saya tahu di kindergarten sekolahnya dulu ada ruang bibliothek mungil. Beberapa kali saya pernah menjemput Obbie di ruangan itu sepulang sekolah karena kadang-kadang memang ada pelajaran membaca bersama gurunya. Tapi sepanjang yang saya lihat meskipun tidak sempat membaca judulnya, buku-bukunya rata-rata berhard cover dengan gambar umumnya anak-anak usia kindergarten dengan warna-warna cerah.
Hmmm.. babak pertama segera dimulai, saya lalu memanggil Obbie yang asik melihat-lihat buku lain.
„Obbie, kesini“ panggil saya. Sambil matanya masih kearah buku yang dipegangnya, dia berjalan kearah saya.
„Obbie dulu di kindergarten pernah baca buku ini?“
„Iya“ jawabnya
„Obbie udah berapa kali liat buku ini?“
„3x“ ( Gubrakkss!!! ???**%??**@?!?! )
„Kapan?“
„1x dibacain sama Simone -guru walinya-“ lalu „1x Obbie liat-liat sendiri di bibliothek kindergarten. Terus sama sekarang“
„Terus Obbie liat semuanya?“
„Iya, bu guru Obbie bacain buat kita“ (anak-anak sekelasnya, maksudnya)
„Apa Simone bacain juga gambar ini?” (sambil menunjuk ke jendela kecil dalam buku dengan gambar hubungan intim pria wanita itu, yang saya benar-benar tak tega membukanya!!)
“Iya. Bu guru Obbie bolehin kita liat semua gambarnya kooq...”
“Ooooh..” gumam saya, pasrah. Kecolongan.
Si sulung yang sebelumnya asik tak bergeming dengan bukunya kemudian jadi ikut-ikutan nimbrung. “Ada apa sih Ma..”
“Gak apa-apa. Obbie mau pinjam buku ini. Teteh pernah baca buku ini?” Memandang judulnya sebentar, lalu “Belum” katanya, sambil melanjutkan baca buku yang dipegangnya lagi. Plong!!
Hening. Berpikir keras lagi. Saya tidak marah, tapi prihatin luar biasa. Ahh sayangku Obbie, kenapa mesti diusia 5 tahunan kamu melihat gambar itu...
Demi melihat perubahan ekspresi wajah mamanya dan menerima cecaran pertanyaan itu rupanya ‘radar’nya menjadi aktif. Lalu tiba-tiba saja Obbie bilang pada saya “Mama, Obbie enggak jadi pinjam buku itu kerumah, yang ini aja” katanya.
Saya lalu balik bertanya “Kenapa??”
Sambil tersipu-sipu dan sedikit memerah mukanya dia bilang “Gak apa-apa, Obbie mau pinjam yang ini saja sama yang ini, ini...” sambil menunjuk buku-buku lainnya. Lhoo...???
Saya menahan geli dalam hati dan bersyukur, baguslah saya tidak usah bersusah payah menerangkan lebih lanjut karena saya sendiri belum siap untuk membahasnya saat itu. Saya hanya bilang “Iya, pinjam yang lain aja ya, yang ini mama simpan aja lagi. Ok?” Padahal tanpa sepengetahuan mereka buku itu saya pinjam kerumah, karena saya masih penasaran dengan halaman-halaman berikutnya. Juga karena saya ingin sharing dengan teman-teman yang mempunyai tanggung jawab moril sama sebagai orang tua.
Sore itu di bibliothek, untuk pertamakalinya tiba-tiba saja saya merasakan hikmah mendalam atas kejadian malasnya Obbie belajar membaca saat masih di kindergarten. Berbeda dengan si sulung yang selalu ingin tahu abjad sejak usia 2 tahun 3 bulan dan membaca majalah Bobo dalam hati diusia 3 tahun selagi di Indonesia, si bungsu malaas sekali belajar membaca.
Meskipun sebelum usia 4 tahun di Indonesia saya sempat mengajarinya cara membaca dasar ma-mi-mu, na-ni-nu dst menjelang tidurnya
, tapi selama sekolah di kindergarten sini yang pelajarannya adalah bermain dan selalu bermaiin dan tidak mewajibkan anak-anak didiknya belajar membaca, praktis Obbie pun terbawa-bawa begitu dan saya membiarkannya saja mengikuti ritme itu. Pelajaran membaca dasar yang dulu dikenalnya benar-benar hilang tak berbekas dan saya mengkhawatirkannya karena menjelang memasuki SD dia masih belum pandai membaca ditambah malas mengeja. Belakangan saya bersyukur dengan kemalasannya dulu belajar membaca dan tertundanya saya dan anak-anak menyusul suami ke Dresden. Saya membayangkan seandainya saja si sulung yang sudah sangat lancar membaca sempat mengenyam pendidikan kindergarten disini.... Ahh agak bergidik saya membayangkannya.
Mungkin tidak semua kindergarten di Jerman memiliki buku bacaan yang sama, sehingga terbebaslah sang anak dari kevulgaran diusia dini. Tapi setahu saya, di Grundschule (SD) di Dresden dan negara bagian Sachsen atau mungkin seluruh Jerman (?) terdapat pelajaran „Sex Education“ bagi murid-muridnya di kelas 4. So, sebelum pengalaman Obbie tersebut, sebetulnya saya sedang mempersiapkan mental diri saya sendiri menghadapi si sulung yang Agustus 2011 ini akan naik ke kelas 4. Saya harus siap-siap menjawab pertanyaan-pertanyaannya nanti dan bagaimana bisa menyikapinya dengan bijaksana. Saya tentu tidak bisa menerapkan apa yang selama ini diperoleh dari orang tua, karena dimasa pertumbuhan hingga lulus sekolah, hanya ada satu kata untuk urusan sex education itu ; tabu. Jadi boro-boroo mau membahas hal-hal seputar itu, mau nanya saja sudah maluu !!
Dresden, 7 Juli 2011
Pengalaman ini sebetulnya tidak disengaja, bermula dari liburan Natal tahun lalu saat salju dingin mengguyur dan tebal menyelimuti Dresden. Sambil memenuhi keinginan anak2 yang ingin bermain seluncur dengan schlitten diluar, kami bertiga menuju bibliothek –perpustakaan-- kota yang jaraknya sekitar 250 meter dari rumah. Seperti biasa, sesampainya di bibliothek saya langsung ke arah rak dimana film-film DVD tersusun dan anak-anak menuju ke pojok baca ruangan buku anak-anak. Setelah memilih beberapa DVD dan buku-buku yang akan dipinjam saya pun menyusul ke ruangan baca anak.
Saya lihat si sulung duduk diatas tatami mini berkarpet dengan bantal-bantalnya sedang asik menekur membaca buku Donad Duck, si bungsu pun demikian, asik membuka-buka buku yang dipegangnya. Saya perhatikan judulnya “Woher die kleinen Kinder kommen” (Darimana anak kecil berasal) Saya tersenyum sendiri dalam hati, untunglah kalau dalam buku tersebut ada penjelasan yang bisa memudahkan saya menerangkan darimana bayi berasal seperti yang selama ini pernah ditanyakan Kinan dan Obbie. Anak-anak memang sedang masanya ingin tahu, dan selama ini saya hanya menjawab bahwa mereka keluar dari perut mamanya setelah berusia 9 bulan 10 hari dan bla bla bla.. tanpa penjelasan bagaimana cara memproduksinya tentu saja hehehe..
Tak lama setelah saya ikut merebahkan diri diatas tatami, Obbie (kelas 1 SD, saat itu 6,5 thn) menghampiri saya yang sedang duduk disebelah tetehnya. Dia bilang „Mama di bibliothek kindergarten Obbie dulu juga ada buku ini, juga yang ini, ini, ini“ sambil menunjukkan kearah susunan buku lain di rak buku yang hampir serupa jilidnya dengan judul berbeda. Lalu „Mama, Obbie mau pinjam buku ini“ aku jawab „Iya. Mama boleh baca juga kan?“ dia mengangguk sambil melihat-lihat ke arah buku lainnya yang berjejer rapi di rak. Aku pun lalu mulai membuka-buka dan membacanya. Halaman-halaman dalam buku itu memiliki jendel-jendela yang bisa dibuka dengan gambar yang berbeda didalamnya. Halaman pertama dan kedua tentang anatomi, ada gambar anak kecil laki-laki dan perempuan berbaju. Begitu dibuka, maka terdapat gambar dibalik jendela itu keduanya telanjang lengkap dengan alat kelaminnya. Lalu ada gambar perempuan dan laki-laki dewasa, yang dibalik jendela2nya juga memperlihatkan alat reproduksinya. Oohh... ini pelajaran waktu saya kelas 2 SMP, batin saya dalam hati. Kemudian sampailah saya pada gambar seorang anak laki-laki yang sedang berdiri di depan pintu kamar orang tuanya, disitu tertulis pertanyaan „.Ob Mama und Papa schon wach sind?.“ (Ketika mama dan papa sudah bangun?) Dan begitu jendela kecil diatas gambar tersebut dibuka..... Masya Allah!!! Saya terkesiap dengan gambarnya. Meskipun tidak sampai shock berat tapi saya sempat terbengong bengong hilang pikiran dan beberapa saat jantung saya serasa berhenti berdenyut. Dibawah jendela gambar pintu kamar itu terdapat gambar laki-laki dan perempuan dewasadalam posisi berhubungan intim dengan perempuan diatas!! Saya mencari-cari ke arah cover buku, benarkah buku itu bacaan untuk anak (???) dan ternyata memang di bagian belakang cover buku tersebut terdapat tulisan seri „Kindergartenalter“
Yang lebih parah lagi, gambar itu disertai tulisan penjelasan bagaimana orang tua sebagai pasangan, memadu kasih dibalik pintu kamar tidur yang bila diterjemahkan menurut saya terasa vulgar buat anak seusia kindergarten.
Huhuhuhuu.... ingin menangis dan menjerit saja rasanya, mengapa gambar seperti itu sekalipun berupa kartun harus ada dalam buku tersebut??? Saya belum siap menerima kenyataan bahwa Obbie pernah melihat gambar itu diusianya selagi sekolah di Kindergarten!!
Sambil menata hati dan menimbang-nimbang bagaimana saya harus menyikapi kejadian tersebut dengan jernih, saya diam beberapa menit, berpikir keras mencari cara agar saya bisa mengorek ‚rahasia’ apa saja yang sudah diperolehnya dulu. Saya tahu di kindergarten sekolahnya dulu ada ruang bibliothek mungil. Beberapa kali saya pernah menjemput Obbie di ruangan itu sepulang sekolah karena kadang-kadang memang ada pelajaran membaca bersama gurunya. Tapi sepanjang yang saya lihat meskipun tidak sempat membaca judulnya, buku-bukunya rata-rata berhard cover dengan gambar umumnya anak-anak usia kindergarten dengan warna-warna cerah.
Hmmm.. babak pertama segera dimulai, saya lalu memanggil Obbie yang asik melihat-lihat buku lain.
„Obbie, kesini“ panggil saya. Sambil matanya masih kearah buku yang dipegangnya, dia berjalan kearah saya.
„Obbie dulu di kindergarten pernah baca buku ini?“
„Iya“ jawabnya
„Obbie udah berapa kali liat buku ini?“
„3x“ ( Gubrakkss!!! ???**%??**@?!?! )
„Kapan?“
„1x dibacain sama Simone -guru walinya-“ lalu „1x Obbie liat-liat sendiri di bibliothek kindergarten. Terus sama sekarang“
„Terus Obbie liat semuanya?“
„Iya, bu guru Obbie bacain buat kita“ (anak-anak sekelasnya, maksudnya)
„Apa Simone bacain juga gambar ini?” (sambil menunjuk ke jendela kecil dalam buku dengan gambar hubungan intim pria wanita itu, yang saya benar-benar tak tega membukanya!!)
“Iya. Bu guru Obbie bolehin kita liat semua gambarnya kooq...”
“Ooooh..” gumam saya, pasrah. Kecolongan.
Si sulung yang sebelumnya asik tak bergeming dengan bukunya kemudian jadi ikut-ikutan nimbrung. “Ada apa sih Ma..”
“Gak apa-apa. Obbie mau pinjam buku ini. Teteh pernah baca buku ini?” Memandang judulnya sebentar, lalu “Belum” katanya, sambil melanjutkan baca buku yang dipegangnya lagi. Plong!!
Hening. Berpikir keras lagi. Saya tidak marah, tapi prihatin luar biasa. Ahh sayangku Obbie, kenapa mesti diusia 5 tahunan kamu melihat gambar itu...
Demi melihat perubahan ekspresi wajah mamanya dan menerima cecaran pertanyaan itu rupanya ‘radar’nya menjadi aktif. Lalu tiba-tiba saja Obbie bilang pada saya “Mama, Obbie enggak jadi pinjam buku itu kerumah, yang ini aja” katanya.
Saya lalu balik bertanya “Kenapa??”
Sambil tersipu-sipu dan sedikit memerah mukanya dia bilang “Gak apa-apa, Obbie mau pinjam yang ini saja sama yang ini, ini...” sambil menunjuk buku-buku lainnya. Lhoo...???
Saya menahan geli dalam hati dan bersyukur, baguslah saya tidak usah bersusah payah menerangkan lebih lanjut karena saya sendiri belum siap untuk membahasnya saat itu. Saya hanya bilang “Iya, pinjam yang lain aja ya, yang ini mama simpan aja lagi. Ok?” Padahal tanpa sepengetahuan mereka buku itu saya pinjam kerumah, karena saya masih penasaran dengan halaman-halaman berikutnya. Juga karena saya ingin sharing dengan teman-teman yang mempunyai tanggung jawab moril sama sebagai orang tua.
Sore itu di bibliothek, untuk pertamakalinya tiba-tiba saja saya merasakan hikmah mendalam atas kejadian malasnya Obbie belajar membaca saat masih di kindergarten. Berbeda dengan si sulung yang selalu ingin tahu abjad sejak usia 2 tahun 3 bulan dan membaca majalah Bobo dalam hati diusia 3 tahun selagi di Indonesia, si bungsu malaas sekali belajar membaca.
Meskipun sebelum usia 4 tahun di Indonesia saya sempat mengajarinya cara membaca dasar ma-mi-mu, na-ni-nu dst menjelang tidurnya
, tapi selama sekolah di kindergarten sini yang pelajarannya adalah bermain dan selalu bermaiin dan tidak mewajibkan anak-anak didiknya belajar membaca, praktis Obbie pun terbawa-bawa begitu dan saya membiarkannya saja mengikuti ritme itu. Pelajaran membaca dasar yang dulu dikenalnya benar-benar hilang tak berbekas dan saya mengkhawatirkannya karena menjelang memasuki SD dia masih belum pandai membaca ditambah malas mengeja. Belakangan saya bersyukur dengan kemalasannya dulu belajar membaca dan tertundanya saya dan anak-anak menyusul suami ke Dresden. Saya membayangkan seandainya saja si sulung yang sudah sangat lancar membaca sempat mengenyam pendidikan kindergarten disini.... Ahh agak bergidik saya membayangkannya.
Mungkin tidak semua kindergarten di Jerman memiliki buku bacaan yang sama, sehingga terbebaslah sang anak dari kevulgaran diusia dini. Tapi setahu saya, di Grundschule (SD) di Dresden dan negara bagian Sachsen atau mungkin seluruh Jerman (?) terdapat pelajaran „Sex Education“ bagi murid-muridnya di kelas 4. So, sebelum pengalaman Obbie tersebut, sebetulnya saya sedang mempersiapkan mental diri saya sendiri menghadapi si sulung yang Agustus 2011 ini akan naik ke kelas 4. Saya harus siap-siap menjawab pertanyaan-pertanyaannya nanti dan bagaimana bisa menyikapinya dengan bijaksana. Saya tentu tidak bisa menerapkan apa yang selama ini diperoleh dari orang tua, karena dimasa pertumbuhan hingga lulus sekolah, hanya ada satu kata untuk urusan sex education itu ; tabu. Jadi boro-boroo mau membahas hal-hal seputar itu, mau nanya saja sudah maluu !!
Dresden, 7 Juli 2011
Balada Pindahan di Jerman , Kiat Cepat Dapat Wohnung
Mencari flat, apartemen
atau populer dengan istilah wohnung di Jerman pada saat kita akan
berpindah rumah terlebih ke lain kota memang gampang-gampang susah.
Gampangnya, karena ada puluhan bahkan ratusan iklan agen penawaran sewa
atau jual beli wohnung dalam website yang bisa digoogling di
internet dengan mudah atau di koran-koran lokal di kota yang akan kita
tempati. Disitu kita dapat memilih wohnung mana kira-kira yang sesuai
dengan kriteria baik model, luasan dan harga, ada yang sudah berikut
furnitur juga ada yang kosong tanpa perabot dan kitchen set. Kita pun bisa mengajukan termin secara online dengan pihak agen di website tersebut untuk bertemu.
Susahnya, pada saat kita sudah menemukan wohnung yang tepat, sebagai zuwanderer --imigran-- di negeri ini kadang-kadang tidak mudah meyakinkan si pemilik atau pengelola wohnung dengan kemampuan kita membayar sewa bulanan. Bagi single student mendapatkan wohnung ataupun studentwohnheim mungkin tidak ada kendala berarti, namun tidak demikian halnya bagi sebuah keluarga yang tinggal beserta anak dan istri di Jerman. Biasanya orang Jerman agak underestimate terhadap ausländer --orang asing--, itu karakter yang saya amati dan sudah menjadi rahasia awam, terlebih bila ausländer itu berasal dari negara berkembang atau negara miskin. Tak bisa disalahkan memang seandainya mereka mempunyai kekuatiran pribadi seperti itu, karena di Jerman ternyata banyak sekali ausländer yang tanpa memiliki pekerjaan pun masih bisa hidup layak dengan sandang, pangan dan sewa wohnung mengandalkan uang tunjangan sosial dari pemerintah yang mereka terima setiap bulan. Bahkan untuk ausländer yang berasal dari negara tertentu bisa dikatakan gaya hidupnya cenderung `wah‘ masih mampu memakai mantel, perhiasan dan mobil bagus. Sepintas kita tidak akan menyangka bahwa mereka selama bertahun-tahun hidup dari uang tunjangan sosial. Tapi itulah fakta yang saya perhatikan selama bergaul dan lebih 3 tahun tinggal di Dresden, salah satu ibukota negara bagian Saxony, eks Jerman Timur.
Naasnya, mungkin karena image negatif yang sudah melekat tentang cerita imigran penerima uang tunjangan sosial di benak pikiran orang Jerman itulah mereka seolah-olah pukul rata, pun bagi orang-orang Indonesia yang punya pekerjaan tetap dan ikut berkontribusi membayar pajak sebesar 35% dari penghasilannya setiap bulan, selagi ketiban peran sebagai calon vermietter --penyewa-- baru, para agen tanpa tedeng aling-aling selalu menyatakan bahwa wohnung-wohnung yang diiklankan itu sudah fully booked, bisa jadi karena mereka melihat nama asing di kolom pendaftaran online. Suami saya pernah mengalami berkali-kali ditelepon para agen rumah yang dihubungi sebelumnya lewat internet dan kemudian mengabarkan bahwa wohnung yang kami minati sudah terisi. Padahal iklannya masih bertengger cantik beberapa minggu di website mereka. Memang sih tidak semuanya begitu tapi tetap saja, terkadang bikin hopeless dan stress!
Stress, karena diluar mudah tidaknya mendapatkan wohnung ideal yang kita inginkan masih ada sejumlah surat perjanjian dan peraturan baku yang wajib dipatuhi, misalnya saja berikut beberapa poin penting yang perlu diperhatikan menjelang pindah rumah :
Ceritanya setelah berkali-kali suami mendapatkan telepon dari agen yang mengabarkan bahwa beberapa wohnung yang ditawarkannya telah terisi, akhirnya salah seorang rekan sekerjanya asal Inggris yang telah hampir 20 tahun tinggal di Kirchheim Teck menyarankan untuk memasang iklan di koran lokal Kirchheim. Alasannya, karena hampir semua pemilik privat wohnung di Kirchheim Teck ini bisa dipastikan para oma-opa atau orang lanjut usia, yang meskipun jaman internet sekarang sudah demikian canggih begini tapi mereka lebih berbahagia dan semangat membaca koran pagi, selain untuk menghindari biaya jasa dan provisi agen tentu saja. Pertimbangan lainnya, apalagi kalau bukan untuk menghindari kejadian ``underestimate`` ketidakmampuan membayar wohnung itu. Paling tidak bila pemilik atau pengelola wohnung tahu bahwa kita memiliki pekerjaan tetap, tak perlu ada kekuatiran lagi bahwa si penyewa tidak mampu membayar setiap bulannya.
Jadi silahkan saja menuliskan profesi anda, bekerja dimana, sedang mencari wohnung di lokasi mana, model, luas, fasilitas yang diinginkan dan lain-lain dalam iklan koran lokal sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Rasanya ide itu memang brilian, karena terbukti setelah 2 hari memasang iklan di koran lokal dengan biaya €12, ada beberapa telepon masuk dan menawarkan untuk bertemu. Dan tidak memerlukan waktu cukup lama meskipun tetap sesuai prosedur di Jerman, kemudian dibuat termin pertemuan, sedikit interview plus harus menunjukkan surat perjanjian kerja berikut penghasilan per tahun. Alhamdulillah, dalam waktu sekitar 3 minggu sejak iklan tersebut dipasang akhirnya kami mendapatkan surat perjanjian wohnung yang kami tempati sekarang ini, yang lokasinya bahkan jauh melebihi harapan kami.
Demikian sekilas info, catatan di penghujung tahun dari pinggiran Stuttgart. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi teman-teman yang berencana pindah rumah baik yang sudah tinggal didalam ataupun akan menuju Jerman, paling tidak jadi bisa mengantisipasi dan meminimalisir stressnya pindahan di negeri ini :-)
Kirchheim Teck, 30 Desember 2011
(Ditulis 2 bulan, lalu tapi baru diposkan :-))
Susahnya, pada saat kita sudah menemukan wohnung yang tepat, sebagai zuwanderer --imigran-- di negeri ini kadang-kadang tidak mudah meyakinkan si pemilik atau pengelola wohnung dengan kemampuan kita membayar sewa bulanan. Bagi single student mendapatkan wohnung ataupun studentwohnheim mungkin tidak ada kendala berarti, namun tidak demikian halnya bagi sebuah keluarga yang tinggal beserta anak dan istri di Jerman. Biasanya orang Jerman agak underestimate terhadap ausländer --orang asing--, itu karakter yang saya amati dan sudah menjadi rahasia awam, terlebih bila ausländer itu berasal dari negara berkembang atau negara miskin. Tak bisa disalahkan memang seandainya mereka mempunyai kekuatiran pribadi seperti itu, karena di Jerman ternyata banyak sekali ausländer yang tanpa memiliki pekerjaan pun masih bisa hidup layak dengan sandang, pangan dan sewa wohnung mengandalkan uang tunjangan sosial dari pemerintah yang mereka terima setiap bulan. Bahkan untuk ausländer yang berasal dari negara tertentu bisa dikatakan gaya hidupnya cenderung `wah‘ masih mampu memakai mantel, perhiasan dan mobil bagus. Sepintas kita tidak akan menyangka bahwa mereka selama bertahun-tahun hidup dari uang tunjangan sosial. Tapi itulah fakta yang saya perhatikan selama bergaul dan lebih 3 tahun tinggal di Dresden, salah satu ibukota negara bagian Saxony, eks Jerman Timur.
Naasnya, mungkin karena image negatif yang sudah melekat tentang cerita imigran penerima uang tunjangan sosial di benak pikiran orang Jerman itulah mereka seolah-olah pukul rata, pun bagi orang-orang Indonesia yang punya pekerjaan tetap dan ikut berkontribusi membayar pajak sebesar 35% dari penghasilannya setiap bulan, selagi ketiban peran sebagai calon vermietter --penyewa-- baru, para agen tanpa tedeng aling-aling selalu menyatakan bahwa wohnung-wohnung yang diiklankan itu sudah fully booked, bisa jadi karena mereka melihat nama asing di kolom pendaftaran online. Suami saya pernah mengalami berkali-kali ditelepon para agen rumah yang dihubungi sebelumnya lewat internet dan kemudian mengabarkan bahwa wohnung yang kami minati sudah terisi. Padahal iklannya masih bertengger cantik beberapa minggu di website mereka. Memang sih tidak semuanya begitu tapi tetap saja, terkadang bikin hopeless dan stress!
Stress, karena diluar mudah tidaknya mendapatkan wohnung ideal yang kita inginkan masih ada sejumlah surat perjanjian dan peraturan baku yang wajib dipatuhi, misalnya saja berikut beberapa poin penting yang perlu diperhatikan menjelang pindah rumah :
- Anmelden (pendaftaran) dan abmelden (pengunduran diri). Anmelden dan abmelden surat perjanjian sewa rumah dilakukan umumnya harus 3 bulan sebelumnya. Bayangkan pada saat kita sudah melakukan abmelden di wohnung lama bulan ini tapi dalam rentang waktu 2 bulan kedepan ternyata belum juga menemukan wohnung baru, padahal kita harus segera keluar dari wohnung lama tersebut sesuai perjanjian. Barang dan perabot kita mau disimpan dimana? Oleh karena itu seandainya tidak ada kendala berarti, kadang-kadang iklan wohnung dari agen-agen di website sebetulnya juga memudahkan kita memilih wohnung yang kita minati sesuai dengan waktu kapan diperlukan, juga bisa dicari beberapa bulan sebelumnya karena biasanya sudah dicantumkan data mulai tanggal dan bulan kapan berlakunya wohnung tersebut bisa ditempati.
- Pembayaran Kaution (Uang deposit). Besarnya relatif, tergantung kebijakan pemilik atau pengelola wohnung. Umumnya sebesar 1-3x kaltmiete (biaya sewa bulanan belum termasuk hitter, listrik dan air). Sedikit gambaran mengenai kaution, uang tersebut tidak serta merta cair saat kita keluar dari wohnung. Perlu antara 3-12 bulan kemudian baru uang tersebut bisa dicairkan dari rekening khusus penyimpanan deposit yang diblokir. Pengelola wohnung terakhir yang kami sewa di Dresden memberlakukan jangka waktu 12 bulan kemudian baru deposit bisa cair. Pemilik atau pengelola wohnung ini biasanya mengadakan pemeriksaan secara detail kondisi wohnung saat serah terima kunci. Apabila wohnung kita bersih, rapi dan sesuai seperti standar sediakala awal kita menempatinya maka akan cairlah semua uang deposit tersebut, tapi biasanya itu tak lepas dari bantuan tenaga Maler, pengecat profesional yang tarifnya sangat mahal. Dilain kasus kadang-kadang ada pemilik privat wohnung yang berbaik hati dan mau menerima tanpa mengajukan denda, sekalipun wohnungnya hanya kita cat sendiri saja tanpa tenaga Maler. Saya pernah mengalami keduanya dan kasus yang terjadi pada wohnung terakhir yang kami sewa di Dresden, pengelola tidak menerima hasil cat yang dilakukan sendiri tanpa jasa profesional Maler dan akan memberlakukan denda dengan memotong uang deposit kami sampai €700!! Huaaaa!! Akhirnya, meskipun dengan berat hati harus membayar profesional Maler sangat mahal, €500 untuk ukuran luas 66m2 (itupun setelah nego dan didiskon), hal itu tetap kami lakukan dengan harapan uang deposit kami sebesar hampir 3 bulan biaya sewa wohnung bisa kembali.
- Biaya Provisi. Bila wohnung diperoleh lewat agen iklan, biasanya ada biaya provisi sebesar 2,38x biaya bulanan kaltmiete yang harus kita bayarkan ke agen tersebut. Memang tidak semua agen iklan memasang biaya provisi, ada juga yang provisionfrei. Bisa dibayangkan misalnya biaya kaltmiete wohnung katakanlah €500 per bulan, maka kita harus membayar sebesar 2,38 dikalikan €500 ( €1190 uang terbuang percuma!!) ke sang agen dan juga harus menyiapkan uang pembayaran kaution selama 1-3x sewa bulanan dimuka. Itu belum termasuk biaya pembayaran dobel wohnung lama dan baru pada bulan terakhir menjelang kepindahan, karena biasanya saat memindahkan perabot dari rumah lama ke rumah baru terlebih bila pindah kelain kota, plus untuk mengecat dan membersihkan wohnung, memerlukan waktu minimal sekitar 2 minggu. Dari segi tenaga, pikiran, waktu dan biaya awal pindahan yang tidak sedikit tentu saja itu seringkali memicu stress. Namun di Jerman kadang-kadang ada perusahaan yang mau menanggung biaya provisi agen wohnung untuk karyawan yang direkrutnya dan mengharuskannya pindah ke kota dimana perusahaan tersebut berada, yang biasanya tertera dalam surat perjanjian kerja. Beruntunglah bila seseorang mendapatkan itu, karena paling tidak itu akan sangat membantu menekan budget dan kita bisa lebih memfokuskan biaya untuk pembayaran kaution, dobel wohnung dan biaya bersih-bersih rumah termasuk mengecat serta membuang perabot bila memang ada.
- Jasa pengangkut pindahan atau Umzug Service. Seperti jasa pengecat rumah, jasa pengangkut pindah rumah juga disini sangatlah mahal. Saya masih ingat kejadian sewaktu rumah kami di Batam dijual tapi ternyata semuanya tidak sesuai rencana dan harus molor, akhirnya kami harus menyewa rumah selama 2 bulan hanya 1 blok dari rumah milik kami. Karena suami waktu itu masih bekerja diluar Batam, praktis semua proses pemindahan, penjualan dan pembuangan barang-barang perabot harus saya tangani sendiri. Enaknyaa pindahan di Indonesia, tinggal memanggil beberapa orang tenaga dan sewa truk mini sekalian, setelah itu kita memberinya rokok, makanan, uang harian, selesai. Disini, pindahan rumah terlebih bagi sebuah keluarga yang memiliki banyak perabot adalah sebuah projek besar. Projek besar bagi jasa Umzug Service tentu saja. Mereka bisa mengajukan proposal biaya pindah setelah melakukan kunjungan dan estimasi harga untuk semua barang yang akan diangkut. Untunglah perusahaan-perusahaan dan institusi di Jerman umumnya mengalokasikan dana pindahan bagi karyawan yang direkrutnya. Itu sudah menjadi 1 paket, dan tertera dalam surat perjanjian kerja. Tidak peduli apakah karyawan baru tersebut berasal dari dalam atau luar Jerman, bahkan dari benua lain sekalipun. Besar dananya relatif, tergantung kebijakan dan besar kecilnya perusahaan. Ada perusahaan yang mematok misalnya dalam kisaran sampai €3000-€4000 untuk biaya Umzug Service, ada pula yang non limited. Adanya alokasi dana bagi jasa Umzug Service ini tentu sangat membantu bagi yang akan berpindah rumah, karena jadi tidak perlu sibuk mengepak semua barang sendiri. Bila mujur, bahkan kita masih bisa bargain lagi, selama hal itu tentunya tidak memberatkan perusahaan sehingga apa yang tertera dalam surat perjanjian kerja bisa lebih fleksibel dan menguntungkan kita.
- Peraturan non statement. Ada peraturan dalam perjanjian sewa wohnung yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam surat perjanjian, misalnya saja tidak diperbolehkan memasang wallpaper, mengecat dengan menggunakan warna-warna gelap (harus cat putih) atau memasang karpet meteran karena dikuatirkan akan merusak dinding atau bagian lantai sebelumnya. Sebaiknya ini ditanyakan langsung dengan pemilik atau pengelola wohnung sejak awal, supaya kita tidak kecolongan menyalahi aturan karena tidak tertera dalam surat perjanjian dan kemudian harus membayar uang denda.
- Peraturan lain-lain seperti mengurus kepindahan sekolah anak, kindergeld, hort, asuransi kesehatan, dokter, dokter gigi, perpustakaan, telepon-internet, listrik dan lain-lain yang akan terlalu panjang apabila diuraikan disini satu persatu namun pada intinya hanya beberapa poin diatas yang paling penting diperhatikan berkaitan dengan surat perjanjian sewa wohnung. Bila saya boleh menambahkan poin penting lainnya, sebagai penyewa asal Indonesia lebih baik lagi bila bisa memilih wohnung dengan dapur berjendela lebar dan bisa dibuka bebas. Bukan apa-apa, biasanya orang Indonesia suka kangen masakan tanah air, dan bila memasak goreng-gorengan, sambal dan lain-lain sejenisnya yang baunya menyengat itu jadi bisa lebih rileks memasaknya dan tidak kena komplain tetangga yang biasanya berakhir UUD juga, ujung-ujungnya duit karena harus membayar denda!
Ceritanya setelah berkali-kali suami mendapatkan telepon dari agen yang mengabarkan bahwa beberapa wohnung yang ditawarkannya telah terisi, akhirnya salah seorang rekan sekerjanya asal Inggris yang telah hampir 20 tahun tinggal di Kirchheim Teck menyarankan untuk memasang iklan di koran lokal Kirchheim. Alasannya, karena hampir semua pemilik privat wohnung di Kirchheim Teck ini bisa dipastikan para oma-opa atau orang lanjut usia, yang meskipun jaman internet sekarang sudah demikian canggih begini tapi mereka lebih berbahagia dan semangat membaca koran pagi, selain untuk menghindari biaya jasa dan provisi agen tentu saja. Pertimbangan lainnya, apalagi kalau bukan untuk menghindari kejadian ``underestimate`` ketidakmampuan membayar wohnung itu. Paling tidak bila pemilik atau pengelola wohnung tahu bahwa kita memiliki pekerjaan tetap, tak perlu ada kekuatiran lagi bahwa si penyewa tidak mampu membayar setiap bulannya.
Jadi silahkan saja menuliskan profesi anda, bekerja dimana, sedang mencari wohnung di lokasi mana, model, luas, fasilitas yang diinginkan dan lain-lain dalam iklan koran lokal sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Rasanya ide itu memang brilian, karena terbukti setelah 2 hari memasang iklan di koran lokal dengan biaya €12, ada beberapa telepon masuk dan menawarkan untuk bertemu. Dan tidak memerlukan waktu cukup lama meskipun tetap sesuai prosedur di Jerman, kemudian dibuat termin pertemuan, sedikit interview plus harus menunjukkan surat perjanjian kerja berikut penghasilan per tahun. Alhamdulillah, dalam waktu sekitar 3 minggu sejak iklan tersebut dipasang akhirnya kami mendapatkan surat perjanjian wohnung yang kami tempati sekarang ini, yang lokasinya bahkan jauh melebihi harapan kami.
Demikian sekilas info, catatan di penghujung tahun dari pinggiran Stuttgart. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi teman-teman yang berencana pindah rumah baik yang sudah tinggal didalam ataupun akan menuju Jerman, paling tidak jadi bisa mengantisipasi dan meminimalisir stressnya pindahan di negeri ini :-)
Kirchheim Teck, 30 Desember 2011
(Ditulis 2 bulan, lalu tapi baru diposkan :-))
Subscribe to:
Posts (Atom)