Judul diatas sempat menjadi topik menarik bapak2, ibu2 dan lajangers
saat kami para Dresdener kumpul bersama menyambut malam tahun baru 2011
di rumah salah seorang teman Indonesia kami. Setelah sempat
berbulan-bulan tertunda karena kesibukan yang tidak jelas, akhirnya
tersampaikan juga saya menuangkan pegalaman ini. Bagi saya pribadi, ini
menjadi salah satu renungan di penghujung tahun 2010. Saya yakin,
kegelisahan ini tidak hanya dialami para orang tua yang tinggal dan
menyekolahkan anaknya di Jerman saja, tapi juga di seluruh Eropa atau
belahan dunia manapun yang notabene kulturnya barat dan dan sangat
berbeda dengan nilai-nilai di Indonesia. Tanpa mengurangi rasa
kesopanan, foto-foto yang berasal dari sebuah buku bacaan anak usia
Kindergarten dan menjadi objek pembicaraan kami saat itu saya tampilkan
disini dengan harapan agar kita para orang tua lebih siap dan
responsif.
Pengalaman ini sebetulnya tidak disengaja,
bermula dari liburan Natal tahun lalu saat salju dingin mengguyur dan
tebal menyelimuti Dresden. Sambil memenuhi keinginan anak2 yang ingin
bermain seluncur dengan schlitten diluar, kami bertiga menuju bibliothek
–perpustakaan-- kota yang jaraknya sekitar 250 meter dari rumah.
Seperti biasa, sesampainya di bibliothek saya langsung ke arah rak
dimana film-film DVD tersusun dan anak-anak menuju ke pojok baca ruangan
buku anak-anak. Setelah memilih beberapa DVD dan buku-buku yang akan
dipinjam saya pun menyusul ke ruangan baca anak.
Saya lihat si
sulung duduk diatas tatami mini berkarpet dengan bantal-bantalnya
sedang asik menekur membaca buku Donad Duck, si bungsu pun demikian,
asik membuka-buka buku yang dipegangnya. Saya perhatikan judulnya “Woher
die kleinen Kinder kommen” (Darimana anak kecil berasal) Saya tersenyum
sendiri dalam hati, untunglah kalau dalam buku tersebut ada penjelasan
yang bisa memudahkan saya menerangkan darimana bayi berasal seperti yang
selama ini pernah ditanyakan Kinan dan Obbie. Anak-anak memang sedang
masanya ingin tahu, dan selama ini saya hanya menjawab bahwa mereka
keluar dari perut mamanya setelah berusia 9 bulan 10 hari dan bla bla
bla.. tanpa penjelasan bagaimana cara memproduksinya tentu saja hehehe..
Tak
lama setelah saya ikut merebahkan diri diatas tatami, Obbie (kelas 1
SD, saat itu 6,5 thn) menghampiri saya yang sedang duduk disebelah
tetehnya. Dia bilang „Mama di bibliothek kindergarten Obbie dulu juga
ada buku ini, juga yang ini, ini, ini“ sambil menunjukkan kearah susunan
buku lain di rak buku yang hampir serupa jilidnya dengan judul
berbeda. Lalu „Mama, Obbie mau pinjam buku ini“ aku jawab „Iya. Mama
boleh baca juga kan?“ dia mengangguk sambil melihat-lihat ke arah buku
lainnya yang berjejer rapi di rak. Aku pun lalu mulai membuka-buka dan
membacanya. Halaman-halaman dalam buku itu memiliki jendel-jendela yang
bisa dibuka dengan gambar yang berbeda didalamnya. Halaman pertama dan
kedua tentang anatomi, ada gambar anak kecil laki-laki dan perempuan
berbaju. Begitu dibuka, maka terdapat gambar dibalik jendela itu
keduanya telanjang lengkap dengan alat kelaminnya. Lalu ada gambar
perempuan dan laki-laki dewasa, yang dibalik jendela2nya juga
memperlihatkan alat reproduksinya. Oohh... ini pelajaran waktu saya
kelas 2 SMP, batin saya dalam hati. Kemudian sampailah saya pada gambar
seorang anak laki-laki yang sedang berdiri di depan pintu kamar orang
tuanya, disitu tertulis pertanyaan „.Ob Mama und Papa schon wach
sind?.“ (Ketika mama dan papa sudah bangun?) Dan begitu jendela kecil
diatas gambar tersebut dibuka..... Masya Allah!!! Saya terkesiap dengan
gambarnya. Meskipun tidak sampai shock berat tapi saya sempat
terbengong bengong hilang pikiran dan beberapa saat jantung saya serasa
berhenti berdenyut. Dibawah jendela gambar pintu kamar itu terdapat
gambar laki-laki dan perempuan dewasadalam posisi berhubungan intim
dengan perempuan diatas!! Saya mencari-cari ke arah cover buku,
benarkah buku itu bacaan untuk anak (???) dan ternyata memang di bagian
belakang cover buku tersebut terdapat tulisan seri „Kindergartenalter“
Yang
lebih parah lagi, gambar itu disertai tulisan penjelasan bagaimana
orang tua sebagai pasangan, memadu kasih dibalik pintu kamar tidur yang
bila diterjemahkan menurut saya terasa vulgar buat anak seusia
kindergarten.
Huhuhuhuu.... ingin menangis dan menjerit saja
rasanya, mengapa gambar seperti itu sekalipun berupa kartun harus ada
dalam buku tersebut??? Saya belum siap menerima kenyataan bahwa Obbie
pernah melihat gambar itu diusianya selagi sekolah di Kindergarten!!
Sambil
menata hati dan menimbang-nimbang bagaimana saya harus menyikapi
kejadian tersebut dengan jernih, saya diam beberapa menit, berpikir
keras mencari cara agar saya bisa mengorek ‚rahasia’ apa saja yang sudah
diperolehnya dulu. Saya tahu di kindergarten sekolahnya dulu ada ruang
bibliothek mungil. Beberapa kali saya pernah menjemput Obbie di ruangan
itu sepulang sekolah karena kadang-kadang memang ada pelajaran membaca
bersama gurunya. Tapi sepanjang yang saya lihat meskipun tidak sempat
membaca judulnya, buku-bukunya rata-rata berhard cover dengan gambar
umumnya anak-anak usia kindergarten dengan warna-warna cerah.
Hmmm.. babak pertama segera dimulai, saya lalu memanggil Obbie yang asik melihat-lihat buku lain.
„Obbie, kesini“ panggil saya. Sambil matanya masih kearah buku yang dipegangnya, dia berjalan kearah saya.
„Obbie dulu di kindergarten pernah baca buku ini?“
„Iya“ jawabnya
„Obbie udah berapa kali liat buku ini?“
„3x“ ( Gubrakkss!!! ???**%??**@?!?! )
„Kapan?“
„1x dibacain sama Simone -guru walinya-“ lalu „1x Obbie liat-liat sendiri di bibliothek kindergarten. Terus sama sekarang“
„Terus Obbie liat semuanya?“
„Iya, bu guru Obbie bacain buat kita“ (anak-anak sekelasnya, maksudnya)
„Apa
Simone bacain juga gambar ini?” (sambil menunjuk ke jendela kecil
dalam buku dengan gambar hubungan intim pria wanita itu, yang saya
benar-benar tak tega membukanya!!)
“Iya. Bu guru Obbie bolehin kita liat semua gambarnya kooq...”
“Ooooh..” gumam saya, pasrah. Kecolongan.
Si sulung yang sebelumnya asik tak bergeming dengan bukunya kemudian jadi ikut-ikutan nimbrung. “Ada apa sih Ma..”
“Gak
apa-apa. Obbie mau pinjam buku ini. Teteh pernah baca buku ini?”
Memandang judulnya sebentar, lalu “Belum” katanya, sambil melanjutkan
baca buku yang dipegangnya lagi. Plong!!
Hening. Berpikir
keras lagi. Saya tidak marah, tapi prihatin luar biasa. Ahh sayangku
Obbie, kenapa mesti diusia 5 tahunan kamu melihat gambar itu...
Demi
melihat perubahan ekspresi wajah mamanya dan menerima cecaran
pertanyaan itu rupanya ‘radar’nya menjadi aktif. Lalu tiba-tiba saja
Obbie bilang pada saya “Mama, Obbie enggak jadi pinjam buku itu kerumah,
yang ini aja” katanya.
Saya lalu balik bertanya “Kenapa??”
Sambil
tersipu-sipu dan sedikit memerah mukanya dia bilang “Gak apa-apa, Obbie
mau pinjam yang ini saja sama yang ini, ini...” sambil menunjuk
buku-buku lainnya. Lhoo...???
Saya menahan geli dalam hati dan
bersyukur, baguslah saya tidak usah bersusah payah menerangkan lebih
lanjut karena saya sendiri belum siap untuk membahasnya saat itu. Saya
hanya bilang “Iya, pinjam yang lain aja ya, yang ini mama simpan aja
lagi. Ok?” Padahal tanpa sepengetahuan mereka buku itu saya pinjam
kerumah, karena saya masih penasaran dengan halaman-halaman berikutnya.
Juga karena saya ingin sharing dengan teman-teman yang mempunyai
tanggung jawab moril sama sebagai orang tua.
Sore itu di
bibliothek, untuk pertamakalinya tiba-tiba saja saya merasakan hikmah
mendalam atas kejadian malasnya Obbie belajar membaca saat masih di
kindergarten. Berbeda dengan si sulung yang selalu ingin tahu abjad
sejak usia 2 tahun 3 bulan dan membaca majalah Bobo dalam hati diusia 3
tahun selagi di Indonesia, si bungsu malaas sekali belajar membaca.
Meskipun
sebelum usia 4 tahun di Indonesia saya sempat mengajarinya cara membaca
dasar ma-mi-mu, na-ni-nu dst menjelang tidurnya
, tapi selama
sekolah di kindergarten sini yang pelajarannya adalah bermain dan selalu
bermaiin dan tidak mewajibkan anak-anak didiknya belajar membaca,
praktis Obbie pun terbawa-bawa begitu dan saya membiarkannya saja
mengikuti ritme itu. Pelajaran membaca dasar yang dulu dikenalnya
benar-benar hilang tak berbekas dan saya mengkhawatirkannya karena
menjelang memasuki SD dia masih belum pandai membaca ditambah malas
mengeja. Belakangan saya bersyukur dengan kemalasannya dulu belajar
membaca dan tertundanya saya dan anak-anak menyusul suami ke Dresden.
Saya membayangkan seandainya saja si sulung yang sudah sangat lancar
membaca sempat mengenyam pendidikan kindergarten disini.... Ahh agak
bergidik saya membayangkannya.
Mungkin tidak semua
kindergarten di Jerman memiliki buku bacaan yang sama, sehingga
terbebaslah sang anak dari kevulgaran diusia dini. Tapi setahu saya, di
Grundschule (SD) di Dresden dan negara bagian Sachsen atau mungkin
seluruh Jerman (?) terdapat pelajaran „Sex Education“ bagi
murid-muridnya di kelas 4. So, sebelum pengalaman Obbie tersebut,
sebetulnya saya sedang mempersiapkan mental diri saya sendiri
menghadapi si sulung yang Agustus 2011 ini akan naik ke kelas 4. Saya
harus siap-siap menjawab pertanyaan-pertanyaannya nanti dan bagaimana
bisa menyikapinya dengan bijaksana. Saya tentu tidak bisa menerapkan
apa yang selama ini diperoleh dari orang tua, karena dimasa pertumbuhan
hingga lulus sekolah, hanya ada satu kata untuk urusan sex education itu
; tabu. Jadi boro-boroo mau membahas hal-hal seputar itu, mau nanya
saja sudah maluu !!
Dresden, 7 Juli 2011
No comments:
Post a Comment