Salju turun lagi.
Padahal salju sebelumnya masih enggan meleleh, membuatnya bertumpuk dan
semakin tebal. Salju tebal diawal winter kali ini mengingatkan pada
kejadian setahun lalu saat puncaknya winter, yang dinginnya menggigit
dan mencapai minus 19 derajat celcius di Dresden. Salju tebal diatas
20 cm yang menyebabkan orang berjalan terseok-seok, tergelincir dan
memerlukan lebih banyak energi untuk sampai ke tujuan. Salju tebal yang
mengubah jadwal trem dalam kota berpindah jalur atau menjadi beberapa
puluh menit lebih lambat kedatangannya serta mencetus kecelakaan lalu
lintas di jalan raya meningkat tajam. Salju tebal yang membuat sebagian
pengendara roda empat lebih baik “mempensiunkan” sementara kendaraanya
dirumah daripada beresiko macet berjam-jam di jalanan tol, tergelincir,
selip atau kecelakaan di tengah jalan dalam cuaca yang muram. Amboi,
jauh sekali dari gambaran indahnya negeri bersalju selagi saya masih
di Indonesia!
Awal Januari 2010 dalam cuaca dingin bersalju yang menutupi hampir semua permukaan ladang, jalanan dan pemukiman sepulang kami sekeluarga berlibur tahun baru, dari Munchen kami menuju ke Dresden dengan menggunakan kereta. Sesampai di kota Hof - sebelah barat daya, 2 jam perjalanan dari Dresden - kota dimana kami transit, ternyata diinformasikan bahwa kereta yang kami tunggu mengalami keterlambatan. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena salju yang terlalu tebal sehingga menimbulkan kecelakaan lalu lintas, sedangkan rute yang kami tuju termasuk dalam zona kecelakaan tersebut. Maka delayed-lah kendaraan tumpangan kami itu sampai lebih 2 jam lamanya.
Waktu menunjukan pukul 13.20 dan perut kami bernyanyi kembali, padahal kami sudah makan perbekalan pukul 11an siang itu dalam kereta. Begini akibatnya kalau perut orang Indonesia diganjal roti. Istilah populernya, enggak nendang! Udara sangat dingin pun membuat perut kami jadi lebih sering keroncongan, bikin be-te bagi yang ingin menurunkan berat badan saja.. :(( Setelah berdiskusi dengan suami dan anak-anak, disamping kami belum melakukan sholat dhuhur pula maka kami memutuskan untuk singgah ke centrum kota Hof atau yang lebih dekat, mencari rumah makan dan mudah-mudahan menemukan mesjid juga.
Dalam salju tebal dan perlengkapan ‘tempur’ melawan dingin berikut tas punggung yang kami bawa, maka berjalanlah kami dari hauptbahnhof (stasiun utama) ke arah pusat kota yang petanya terpampang di salah satu dinding stasiun. Sambil mnyusuri jalanan bersalju mata kami selalu mencari-cari barangkali ada rumah makan Turki atau Cina yang terlewat. Syukurlah, sekitar 600 meter dari hauptbahnhof setelah bertanya-tanya pada orang-orang sekitar akhirnya kami menemukan restoran Turki, halal pula, namanya Sultan Palast. Bangunan dari luar tampak kecil tapi setelah masuk kedalamnya terasa bahwa restoran ini cukup luas terutama di lantai 2. Daftar harga makanan yang terpampang pun untuk standar daerah Bayern relatif tidak terlalu mahal, sama seperti harga rata-rata makanan Turki umumnya. Saya dan suami memesan masing-masing satu porsi makanan, begitu pula anak-anak, hanya saja mereka memesan Kids Menu dalam porsi lebih kecil yang isinya tidak jauh-jauh dari kentang goreng dengan salad berikut ayam kesukaan mereka.
Ternyata menu pesanan saya Hawaiian Dönerteller, döner dengan potongan daging sapi muda (kalb), sayuran dan nenas jauh lebih banyak dari yang dibayangkan, padahal harganya waktu itu hanya 4,5 euro. Saya sampai tak mampu menghabiskannya karena terlalu banyak. Suami pun tidak bisa membantu seperti biasanya karena makanan pesanannya seharga 7 euro jauh lebih banyak lagi !
Tapi ada yang lain kali itu, selama saya makan döner dimanapun, belum pernah saya merasakan döner seenak itu. Sausnya terasa berbeda dari saus-saus umumnya, warnanya kuning terang dan terasa seperti dicampur sedikit bumbu kari. Lezat betul, pas sekali dengan potongan nenas yang ada didalamnya. Terasa segar di lidah. Tapi biar begitu saya tetap tak mampu menghabiskannya sendiri, perut ini terlalu penuh rasanya. Jangan sampai nanti jadi sulit berjalan kaki karena kami masih harus mencari mesjid. Untunglah para pelayan yang ramah dan menanyakan negara asal kami mau menunjukkah di mana mesjid berada. Beruntung lagi karena jarak mesjid tidak jauh dan terlihat pandangan mata dari restoran. Maka dalam salju yang perlahan turun lagi kami berjalan menuju ke arah mesjid, yang bangunannya dari luar sama sekali jauh dari kesan mesjid di Indonesia. Seperti bangunan apartemen umumnya, yang disewa atau dibeli oleh para jamaahnya, itu yang membuat agak sulit dicari bila kita tidak tahu sebelumnya atau paling tidak pernah mendengar di daerah mana lokasinya.
Didepan mesjid kami membaca sekilas tulisan yang terpampang disamping pintunya : Ayasofya Camii, Koenigstrasse 64 Hof. Kami masuk kedalam, bertemu dan saling mengucap salam dengan seorang bapak yang sepertinya baru selesai berwudhu. Dia sempat menanyakan asal kami, dan kami jawab dari Indonesia, responnya baik. Karena anak-anak dan barang-barang tidak ada yang menjaga maka saya dan suami sepakat bergantian shalat, bagaimanapun di daerah baru dan asing kami harus selalu berhati-hati. Tiba-tiba bapak yang megucap salam tadi berkata pada kami “Perempuan sholatnya di atas” sambil menunjukkan tangan keatas. Oooh... jadi ada ruangan perempuan terpisah juga rupanya, syukurlah batin saya dalam hati., refleks mata saya melihat keatas bangunan. Lalu bapak itu tanpa diminta berjalan menaiki tangga dan mengetuk pintu ruangan di atas. Saya memperhatikan dari bawah, dari balik pintu muncul seorang wanita cantik berkerudung. Sayup-sayup terdengar mereka berbicara dalam bahasa yang tidak saya mengerti, mungkin Turki atau Arab. Kemudian bapak itu turun lagi sambil mempersilahkan saya ke atas, dan wanita tadi tersenyum menyambut saya dan menyuruh saya dan anak-anak masuk kedalam. Setelah masuk kedalam di bagian koridor, selagi saya dan anak-anak melepaskan sepatu, perempuan itu bertanya kepada saya “Anda berasal dari mana?” saya jawab “dari Indonesia” . Lalu perempuan itu berjalan keruangan lain. Saya pun melanjutkan membantu anak-anak melepaskan perlengkapan yang saat winter jadi banyak ‘ritual’ yang harus dilakukan ; melepaskan jaket tebal, syal, topi hangat, sarung tangan dan embel-embel lainnya. Huahh, begitu merepotkannya kau winter!
Baru saja selesai melakukan “ritual” tersebut tiba-tiba dari ujung koridor lain bermunculan para perempuan cantik berkerudung, ibu-ibu, remaja dan anak-anak. Mereka menyalami saya dengan ramah “Assalamu’alaikum”... menanyakan asal saya, mengelilingi saya, Kinan dan Obbie, sebagian lagi memegang bahu saya, menyentuh kerudung, mengelus-elus manik-manik di kerudung saya dan menanyakan pertanyaan ramah lainya kepada saya, juga kepada anak-anak. Baiik sekali mereka, bahkan menurut saya terlalu baik dan terlalu ramah untuk kesan pertemuan pertama kali. Saya malah jadi merasa heran, sedikit curiga dan bertanya-tanya dalam hati “Koq bisaa ya???”
Tangan saya ditarik salah seorang ke ruangan cukup luas dibalik dinding koridor itu, dan rupanya disitu telah berkumpul sekitar 30an perempuan, tua muda. Di ujung ruangan terdapat dapur cantik dengan “island” dan perlengkapan serba modern berwarna krem. Beberapa wanita tampak berdiri di depan pantri menyiapkan makanan dan sebagian besar lagi duduk diatas beberapa bangku panjang mengapit meja besar panjang yang dipenuhi dengan beragam makanan; kue-kue, nasi, daging dan lain-lain. Sepertinya sedang ada perayaan atau semacam pesta disitu. Seorang wanita yang sejak di koridor tadi paling sangat ramah menanyai saya, mempersilahkan saya duduk dan memperkenalkan saya pada yang hadir disitu dan -tentu saja- mengatakan sekali lagi bahwa saya dari Indonesia. Dan berdatanganlah tawaran untuk memakan ini dan itu, teh, kopi, susu dan lain-lain, sambil beberapa wanita tetap berdiri mengelilingi saya yang tanpa sadar sudah ikut duduk bergabung di bangku panjang menghadap meja besar itu. Antusias sekali mereka tampaknya terhadap saya. “Ada apa ya??” batin saya dalam hati. Tiba – tiba saja saya serasa mendadak jadi selebriti! Alih–alih berpikir lanjut, saya hanya membatin “Ooh begini mungkin rasanya menjadi Titi Kamal itu...” Cuma kurang minta tanda tangan saja. Hahahaaa !!
Sayangnya perut saya masih sangat penuh karena döner tadi, jadi saya tidak berselera memakannya.Mungkin hal ini memberikan impresi lain bagi mereka tentang perempuan Indonesia ; mengapa ukuran tubuh perempuan Indonesia tetap mungil dibandingkan ukuran tubuh mereka. Padahal seandainya saja perut ini kosong pastilah semua sudah saya cicipi karena terkesan dengan beberapa macam makanan asing yang baru pertama kali dilihat.. Sayangnya lagi saya tidak diperbolehkan memotret mereka sewaktu saya meminta izin sebelumnya. Malah seorang ibu paruh baya tiba-tiba raut mukanya berubah mengeras setelah mendengar permintaan saya itu. Belakangan setelah bubar sholat maghrib -yang saat itu jatuh sekitar pk.16.30an- dan sebagian perempuan pulang ke rumah, saya baru menyadari bahwa diantara mereka yang berada dalam ruangan tadi keluar mesjid dengan mengenakan cadar !
Hari itu minggu, entah sejak kapan dimulai setiap hari minggu menjadi jadwal pertemuan rutin di mesjid muslimah Ayasofya sambil mengaji. Sepertinya mereka semua orang-orang Turki karena saya tidak menanyakanya. Tapi mesjid itu memang mesjid Turki di Hof. Dan setelah berbincang-bincang agak lama sambil minum teh barulah saya mengerti alasan saya diperlakukan istimewa begitu. Selidik punya selidik rupanya setiap sebulan sekali mereka memanggil penceramah muslimah datang kesitu, bisa dari dalam dan luar negeri. Penceramah terakhir berasal dari Malaysia, tapi saya lupa menanyakan namanya. Dan sepertinya mereka sangat terkesan dengan ibu ustadzah tersebut. Beruntunglah saya, karena ditengah-tengah ‘hubungan memanas’ Indonesia dengan Malaysia di tahun-tahun sebelumnya atas kasus-kasus mulai dari TKI, Selat Ambalat, batik, penangkapan kapal nelayan asing, lagu Rasa Sayange sampai Manohara, masih ada wanita mulia yang membicarakan hal-hal baik tentang Indonesia, tentang keramah tamahan penduduknya, keindahan pulau-pulaunya, tentang banyaknya perempuan berhijab disana tapi selalu modis, dan lain-lain yang tidak saya ketahui secara detail. Hanya saja dari pengalaman yang saya peroleh tentang bagaimana cara mereka memperlakukan saya dan anak-anak dengan sangat sangat baik, ceramah ustadzah itu tentu membuat mereka merasa antusias dan sangat ingin mengenal Indonesia dan juga mengunjunginya. Beruntunglah saya, waktu itu saya datang pada saat yang tepat. Salah seorang perempuan berkata pada saya “Kami semua tertarik tentang Indonesia dan sedang berandai-andai bilamana kami bisa kesana dan tiba-tiba datanglah anda...” Jadi, saya mendapatkan durian runtuh! Durian yang diperoleh karena kemuliaan hati ustadzah Malaysia itu. Saya jadi bertanya pada mereka, apakah mereka tidak pernah bertemu orang Indonesia disitu? Katanya sih, tidak. Saya sendiri tidak yakin dengan jawaban itu, kemana gerangan wahai orang Indonesia di Hof? Saya tahu mereka selalu ada di seluruh pernjuru kota di Jerman! Keasikan berbincang-bincang dengan mereka, membuat saya lupa bahwa saya ke mesjid sebetulnya untuk shalat, akhirnya saya ringkas shalat dhuhur di waktu ashar.
Lain lagi dengan pengalaman anak-anak. Demi melihat ibunya dikerumuni dan banyak ditanyai para ibu di ruangan makan merangkap dapur itu, diam-diam mereka diajak para ABG dan anak lainnya keluar ruang tersebut, bermain diruangan lain yang lebih luas -tempat shalat berjamaah- berkarpet tebal. Kinan dan Obbie dikelilingi anak-anak dan para ABG yang cantik-cantik itu. Mereka memberikan buku dan alat tulis, juga banyak pula menanyai dan mengetes anak-anak saya. Mereka heran karena Kinan yang bertubuh kecil sudah pandai membaca huruf Latin, lancar membaca Al-Qur’an dan berhitung. Ya jelas saja, waktu itu Kinan hampir berumur 7,5 tahun. Lagi pula sejak di Indonesia sesudah tamat Iqra, Kinan tidak mau baca Juz Amma, maunya langsung baca Al Qur’an besar dan membaca surat Al-Baqaraah yang sampai sekarang belum tamat juga karena saya lebih sering mengajari surat-surat pendek sebagai bekal bacaan shalat. Jadi mereka terpedaya oleh tubuh kecilnya dibandingkan ukuran tubuh mereka hehee.. Mereka semuanya cantik dan lembut, yang saya ingat satu orang ABG bernama Aisyah. Namun kali ini saya boleh bersenang hati, karena teman-teman kecil ini bahkan para ABG tak berkeberatan saya curi-curi fotonya bahkan mereka kemudian mau bergaya depan kamera, jadi saya masih punya kenang-kenangan tentang pengalaman di Hof :-))
Setelah saya dan anak-anak selesai sholat maghrib, kami pun berpamitan pada sebagian orang yang masih tinggal disana dan turun mencari suami yang hampir 2 jam lamanya tertinggal di bawah.
Ternyata suami pun memiliki pengalaman serupa, dia diperlakukan dengan baik oleh orang-orang yang sholat berjamaah disitu, berdiskusi, dijamu minum teh, kopi di kantin mesjid bahkan dibekali makanan khas Turki serta beberapa kue diatas piring kertas dari hidangan mesjid. Katanya, untuk bekal dalam perjalanan di kereta. Padahal kami jelas sudah tak sanggup lagi memakannya! Selain itu salah satu orang Turki teman bicaranya disitu yang ternyata seorang engineer dan bekerja di perusahaan semikonduktor juga akhirnya jadi ‘nyambung’ dalam diskusi panjang dengan suami, bahkan berbaik hati mau mengantarkan kami dengan mobilnya sampai ke hauptbahnhof. Waktu kami sempat menayakan “Mengapa anda begitu baik kepada kami?” Yang terluncur dari mulutnya hanya “Sebagai sesama muslim kita harus baik dan saling menolong!” Adem betul mendengarnya, singkat tapi sarat makna. Membuat saya jadi menerawang memikirkan seandainya saja di Indonesia seluruh muslimin-muslimah mempunyai pemikiran yang sama seperti itu.... maka damailah negeriku.
Kami bersyukur dengan kebaikannya untuk mengantar kami, karena tanpa disadari salju diluar ternyata turun semakin lebat selama kami berada dalam mesjid dan langit berubah gelap. Kami pulang dengan diantarkan 3 ABG yang cantik-cantik itu sampai ke pintu mobil di depan mesjid. Salju yang turun tak mereka hiraukan. Mereka menunggu kami dan melambaikan tangan sampai pandangan tak terlihat. Akhirnya, kami pulang ke Dresden dengan jadwal kereta berikutnya karena kereta yang semula kami tunggu sudah lama berlalu. Namun begitu kami merasa puas dan bahagia karena hari itu mendapatkan pengalaman luar biasa yang semakin menanamkan keyakinan dalam diri kami bahwa diluar sana masih banyak orang-orang baik hati yang siap membantu kapan saja, dimana saja, di negeri asing sekalipun .
Lewat kartu pos yang saya beli menjelang kereta datang, saya melihat beberapa objek wisata menarik di Hof dan terbersit untuk mengunjunginya. Nantikan kami Hof, suatu saat kami akan kembali lagi, mengunjungi mesjid yang sama dan menjelajahi kota cantikmu itu.
Kirchheim Teck, 2012. ( Tulisanku lebih setahun lalu... yang pengalamannya selalu terpatri manis dalam hati)
**Restoran Sultan Palast : http://www.sultan-hof.de/index.php?content=galerie
**Hof, Germany : http://de.wikipedia.org/wiki/Hof_%28Saale%29
Awal Januari 2010 dalam cuaca dingin bersalju yang menutupi hampir semua permukaan ladang, jalanan dan pemukiman sepulang kami sekeluarga berlibur tahun baru, dari Munchen kami menuju ke Dresden dengan menggunakan kereta. Sesampai di kota Hof - sebelah barat daya, 2 jam perjalanan dari Dresden - kota dimana kami transit, ternyata diinformasikan bahwa kereta yang kami tunggu mengalami keterlambatan. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena salju yang terlalu tebal sehingga menimbulkan kecelakaan lalu lintas, sedangkan rute yang kami tuju termasuk dalam zona kecelakaan tersebut. Maka delayed-lah kendaraan tumpangan kami itu sampai lebih 2 jam lamanya.
Waktu menunjukan pukul 13.20 dan perut kami bernyanyi kembali, padahal kami sudah makan perbekalan pukul 11an siang itu dalam kereta. Begini akibatnya kalau perut orang Indonesia diganjal roti. Istilah populernya, enggak nendang! Udara sangat dingin pun membuat perut kami jadi lebih sering keroncongan, bikin be-te bagi yang ingin menurunkan berat badan saja.. :(( Setelah berdiskusi dengan suami dan anak-anak, disamping kami belum melakukan sholat dhuhur pula maka kami memutuskan untuk singgah ke centrum kota Hof atau yang lebih dekat, mencari rumah makan dan mudah-mudahan menemukan mesjid juga.
Dalam salju tebal dan perlengkapan ‘tempur’ melawan dingin berikut tas punggung yang kami bawa, maka berjalanlah kami dari hauptbahnhof (stasiun utama) ke arah pusat kota yang petanya terpampang di salah satu dinding stasiun. Sambil mnyusuri jalanan bersalju mata kami selalu mencari-cari barangkali ada rumah makan Turki atau Cina yang terlewat. Syukurlah, sekitar 600 meter dari hauptbahnhof setelah bertanya-tanya pada orang-orang sekitar akhirnya kami menemukan restoran Turki, halal pula, namanya Sultan Palast. Bangunan dari luar tampak kecil tapi setelah masuk kedalamnya terasa bahwa restoran ini cukup luas terutama di lantai 2. Daftar harga makanan yang terpampang pun untuk standar daerah Bayern relatif tidak terlalu mahal, sama seperti harga rata-rata makanan Turki umumnya. Saya dan suami memesan masing-masing satu porsi makanan, begitu pula anak-anak, hanya saja mereka memesan Kids Menu dalam porsi lebih kecil yang isinya tidak jauh-jauh dari kentang goreng dengan salad berikut ayam kesukaan mereka.
Ternyata menu pesanan saya Hawaiian Dönerteller, döner dengan potongan daging sapi muda (kalb), sayuran dan nenas jauh lebih banyak dari yang dibayangkan, padahal harganya waktu itu hanya 4,5 euro. Saya sampai tak mampu menghabiskannya karena terlalu banyak. Suami pun tidak bisa membantu seperti biasanya karena makanan pesanannya seharga 7 euro jauh lebih banyak lagi !
Tapi ada yang lain kali itu, selama saya makan döner dimanapun, belum pernah saya merasakan döner seenak itu. Sausnya terasa berbeda dari saus-saus umumnya, warnanya kuning terang dan terasa seperti dicampur sedikit bumbu kari. Lezat betul, pas sekali dengan potongan nenas yang ada didalamnya. Terasa segar di lidah. Tapi biar begitu saya tetap tak mampu menghabiskannya sendiri, perut ini terlalu penuh rasanya. Jangan sampai nanti jadi sulit berjalan kaki karena kami masih harus mencari mesjid. Untunglah para pelayan yang ramah dan menanyakan negara asal kami mau menunjukkah di mana mesjid berada. Beruntung lagi karena jarak mesjid tidak jauh dan terlihat pandangan mata dari restoran. Maka dalam salju yang perlahan turun lagi kami berjalan menuju ke arah mesjid, yang bangunannya dari luar sama sekali jauh dari kesan mesjid di Indonesia. Seperti bangunan apartemen umumnya, yang disewa atau dibeli oleh para jamaahnya, itu yang membuat agak sulit dicari bila kita tidak tahu sebelumnya atau paling tidak pernah mendengar di daerah mana lokasinya.
Didepan mesjid kami membaca sekilas tulisan yang terpampang disamping pintunya : Ayasofya Camii, Koenigstrasse 64 Hof. Kami masuk kedalam, bertemu dan saling mengucap salam dengan seorang bapak yang sepertinya baru selesai berwudhu. Dia sempat menanyakan asal kami, dan kami jawab dari Indonesia, responnya baik. Karena anak-anak dan barang-barang tidak ada yang menjaga maka saya dan suami sepakat bergantian shalat, bagaimanapun di daerah baru dan asing kami harus selalu berhati-hati. Tiba-tiba bapak yang megucap salam tadi berkata pada kami “Perempuan sholatnya di atas” sambil menunjukkan tangan keatas. Oooh... jadi ada ruangan perempuan terpisah juga rupanya, syukurlah batin saya dalam hati., refleks mata saya melihat keatas bangunan. Lalu bapak itu tanpa diminta berjalan menaiki tangga dan mengetuk pintu ruangan di atas. Saya memperhatikan dari bawah, dari balik pintu muncul seorang wanita cantik berkerudung. Sayup-sayup terdengar mereka berbicara dalam bahasa yang tidak saya mengerti, mungkin Turki atau Arab. Kemudian bapak itu turun lagi sambil mempersilahkan saya ke atas, dan wanita tadi tersenyum menyambut saya dan menyuruh saya dan anak-anak masuk kedalam. Setelah masuk kedalam di bagian koridor, selagi saya dan anak-anak melepaskan sepatu, perempuan itu bertanya kepada saya “Anda berasal dari mana?” saya jawab “dari Indonesia” . Lalu perempuan itu berjalan keruangan lain. Saya pun melanjutkan membantu anak-anak melepaskan perlengkapan yang saat winter jadi banyak ‘ritual’ yang harus dilakukan ; melepaskan jaket tebal, syal, topi hangat, sarung tangan dan embel-embel lainnya. Huahh, begitu merepotkannya kau winter!
Baru saja selesai melakukan “ritual” tersebut tiba-tiba dari ujung koridor lain bermunculan para perempuan cantik berkerudung, ibu-ibu, remaja dan anak-anak. Mereka menyalami saya dengan ramah “Assalamu’alaikum”... menanyakan asal saya, mengelilingi saya, Kinan dan Obbie, sebagian lagi memegang bahu saya, menyentuh kerudung, mengelus-elus manik-manik di kerudung saya dan menanyakan pertanyaan ramah lainya kepada saya, juga kepada anak-anak. Baiik sekali mereka, bahkan menurut saya terlalu baik dan terlalu ramah untuk kesan pertemuan pertama kali. Saya malah jadi merasa heran, sedikit curiga dan bertanya-tanya dalam hati “Koq bisaa ya???”
Tangan saya ditarik salah seorang ke ruangan cukup luas dibalik dinding koridor itu, dan rupanya disitu telah berkumpul sekitar 30an perempuan, tua muda. Di ujung ruangan terdapat dapur cantik dengan “island” dan perlengkapan serba modern berwarna krem. Beberapa wanita tampak berdiri di depan pantri menyiapkan makanan dan sebagian besar lagi duduk diatas beberapa bangku panjang mengapit meja besar panjang yang dipenuhi dengan beragam makanan; kue-kue, nasi, daging dan lain-lain. Sepertinya sedang ada perayaan atau semacam pesta disitu. Seorang wanita yang sejak di koridor tadi paling sangat ramah menanyai saya, mempersilahkan saya duduk dan memperkenalkan saya pada yang hadir disitu dan -tentu saja- mengatakan sekali lagi bahwa saya dari Indonesia. Dan berdatanganlah tawaran untuk memakan ini dan itu, teh, kopi, susu dan lain-lain, sambil beberapa wanita tetap berdiri mengelilingi saya yang tanpa sadar sudah ikut duduk bergabung di bangku panjang menghadap meja besar itu. Antusias sekali mereka tampaknya terhadap saya. “Ada apa ya??” batin saya dalam hati. Tiba – tiba saja saya serasa mendadak jadi selebriti! Alih–alih berpikir lanjut, saya hanya membatin “Ooh begini mungkin rasanya menjadi Titi Kamal itu...” Cuma kurang minta tanda tangan saja. Hahahaaa !!
Sayangnya perut saya masih sangat penuh karena döner tadi, jadi saya tidak berselera memakannya.Mungkin hal ini memberikan impresi lain bagi mereka tentang perempuan Indonesia ; mengapa ukuran tubuh perempuan Indonesia tetap mungil dibandingkan ukuran tubuh mereka. Padahal seandainya saja perut ini kosong pastilah semua sudah saya cicipi karena terkesan dengan beberapa macam makanan asing yang baru pertama kali dilihat.. Sayangnya lagi saya tidak diperbolehkan memotret mereka sewaktu saya meminta izin sebelumnya. Malah seorang ibu paruh baya tiba-tiba raut mukanya berubah mengeras setelah mendengar permintaan saya itu. Belakangan setelah bubar sholat maghrib -yang saat itu jatuh sekitar pk.16.30an- dan sebagian perempuan pulang ke rumah, saya baru menyadari bahwa diantara mereka yang berada dalam ruangan tadi keluar mesjid dengan mengenakan cadar !
Hari itu minggu, entah sejak kapan dimulai setiap hari minggu menjadi jadwal pertemuan rutin di mesjid muslimah Ayasofya sambil mengaji. Sepertinya mereka semua orang-orang Turki karena saya tidak menanyakanya. Tapi mesjid itu memang mesjid Turki di Hof. Dan setelah berbincang-bincang agak lama sambil minum teh barulah saya mengerti alasan saya diperlakukan istimewa begitu. Selidik punya selidik rupanya setiap sebulan sekali mereka memanggil penceramah muslimah datang kesitu, bisa dari dalam dan luar negeri. Penceramah terakhir berasal dari Malaysia, tapi saya lupa menanyakan namanya. Dan sepertinya mereka sangat terkesan dengan ibu ustadzah tersebut. Beruntunglah saya, karena ditengah-tengah ‘hubungan memanas’ Indonesia dengan Malaysia di tahun-tahun sebelumnya atas kasus-kasus mulai dari TKI, Selat Ambalat, batik, penangkapan kapal nelayan asing, lagu Rasa Sayange sampai Manohara, masih ada wanita mulia yang membicarakan hal-hal baik tentang Indonesia, tentang keramah tamahan penduduknya, keindahan pulau-pulaunya, tentang banyaknya perempuan berhijab disana tapi selalu modis, dan lain-lain yang tidak saya ketahui secara detail. Hanya saja dari pengalaman yang saya peroleh tentang bagaimana cara mereka memperlakukan saya dan anak-anak dengan sangat sangat baik, ceramah ustadzah itu tentu membuat mereka merasa antusias dan sangat ingin mengenal Indonesia dan juga mengunjunginya. Beruntunglah saya, waktu itu saya datang pada saat yang tepat. Salah seorang perempuan berkata pada saya “Kami semua tertarik tentang Indonesia dan sedang berandai-andai bilamana kami bisa kesana dan tiba-tiba datanglah anda...” Jadi, saya mendapatkan durian runtuh! Durian yang diperoleh karena kemuliaan hati ustadzah Malaysia itu. Saya jadi bertanya pada mereka, apakah mereka tidak pernah bertemu orang Indonesia disitu? Katanya sih, tidak. Saya sendiri tidak yakin dengan jawaban itu, kemana gerangan wahai orang Indonesia di Hof? Saya tahu mereka selalu ada di seluruh pernjuru kota di Jerman! Keasikan berbincang-bincang dengan mereka, membuat saya lupa bahwa saya ke mesjid sebetulnya untuk shalat, akhirnya saya ringkas shalat dhuhur di waktu ashar.
Lain lagi dengan pengalaman anak-anak. Demi melihat ibunya dikerumuni dan banyak ditanyai para ibu di ruangan makan merangkap dapur itu, diam-diam mereka diajak para ABG dan anak lainnya keluar ruang tersebut, bermain diruangan lain yang lebih luas -tempat shalat berjamaah- berkarpet tebal. Kinan dan Obbie dikelilingi anak-anak dan para ABG yang cantik-cantik itu. Mereka memberikan buku dan alat tulis, juga banyak pula menanyai dan mengetes anak-anak saya. Mereka heran karena Kinan yang bertubuh kecil sudah pandai membaca huruf Latin, lancar membaca Al-Qur’an dan berhitung. Ya jelas saja, waktu itu Kinan hampir berumur 7,5 tahun. Lagi pula sejak di Indonesia sesudah tamat Iqra, Kinan tidak mau baca Juz Amma, maunya langsung baca Al Qur’an besar dan membaca surat Al-Baqaraah yang sampai sekarang belum tamat juga karena saya lebih sering mengajari surat-surat pendek sebagai bekal bacaan shalat. Jadi mereka terpedaya oleh tubuh kecilnya dibandingkan ukuran tubuh mereka hehee.. Mereka semuanya cantik dan lembut, yang saya ingat satu orang ABG bernama Aisyah. Namun kali ini saya boleh bersenang hati, karena teman-teman kecil ini bahkan para ABG tak berkeberatan saya curi-curi fotonya bahkan mereka kemudian mau bergaya depan kamera, jadi saya masih punya kenang-kenangan tentang pengalaman di Hof :-))
Setelah saya dan anak-anak selesai sholat maghrib, kami pun berpamitan pada sebagian orang yang masih tinggal disana dan turun mencari suami yang hampir 2 jam lamanya tertinggal di bawah.
Ternyata suami pun memiliki pengalaman serupa, dia diperlakukan dengan baik oleh orang-orang yang sholat berjamaah disitu, berdiskusi, dijamu minum teh, kopi di kantin mesjid bahkan dibekali makanan khas Turki serta beberapa kue diatas piring kertas dari hidangan mesjid. Katanya, untuk bekal dalam perjalanan di kereta. Padahal kami jelas sudah tak sanggup lagi memakannya! Selain itu salah satu orang Turki teman bicaranya disitu yang ternyata seorang engineer dan bekerja di perusahaan semikonduktor juga akhirnya jadi ‘nyambung’ dalam diskusi panjang dengan suami, bahkan berbaik hati mau mengantarkan kami dengan mobilnya sampai ke hauptbahnhof. Waktu kami sempat menayakan “Mengapa anda begitu baik kepada kami?” Yang terluncur dari mulutnya hanya “Sebagai sesama muslim kita harus baik dan saling menolong!” Adem betul mendengarnya, singkat tapi sarat makna. Membuat saya jadi menerawang memikirkan seandainya saja di Indonesia seluruh muslimin-muslimah mempunyai pemikiran yang sama seperti itu.... maka damailah negeriku.
Kami bersyukur dengan kebaikannya untuk mengantar kami, karena tanpa disadari salju diluar ternyata turun semakin lebat selama kami berada dalam mesjid dan langit berubah gelap. Kami pulang dengan diantarkan 3 ABG yang cantik-cantik itu sampai ke pintu mobil di depan mesjid. Salju yang turun tak mereka hiraukan. Mereka menunggu kami dan melambaikan tangan sampai pandangan tak terlihat. Akhirnya, kami pulang ke Dresden dengan jadwal kereta berikutnya karena kereta yang semula kami tunggu sudah lama berlalu. Namun begitu kami merasa puas dan bahagia karena hari itu mendapatkan pengalaman luar biasa yang semakin menanamkan keyakinan dalam diri kami bahwa diluar sana masih banyak orang-orang baik hati yang siap membantu kapan saja, dimana saja, di negeri asing sekalipun .
Lewat kartu pos yang saya beli menjelang kereta datang, saya melihat beberapa objek wisata menarik di Hof dan terbersit untuk mengunjunginya. Nantikan kami Hof, suatu saat kami akan kembali lagi, mengunjungi mesjid yang sama dan menjelajahi kota cantikmu itu.
Kirchheim Teck, 2012. ( Tulisanku lebih setahun lalu... yang pengalamannya selalu terpatri manis dalam hati)
**Restoran Sultan Palast : http://www.sultan-hof.de/index.php?content=galerie
**Hof, Germany : http://de.wikipedia.org/wiki/Hof_%28Saale%29
No comments:
Post a Comment