Musim semi awal April 2010 pada kunjungan perjalanan 3 hari di
Wina, Austria, ada pengalaman yang sangat membekas dan selalu terekam
dalam ingatan saya.
Siang itu di sekitar area Stephen’s
Dom, Wina, sesudah kami cukup puas berputar-putar di oldcity dan akan
menuju ke objek wisata berikutnya, saya dan suami agak sedikit
bersitegang. Penyebabnya biasanya enggak jauh-jauh dari keinginan saya
yang tidak bisa menahan diri untuk memotret mengabadikan gedung-gedung
dan suasana nan indah di suatu kota baru yang pertama kali kami
kunjungi, termasuk memotret anak-anak kami juga. Maklumlah,
bagaimanapun nuansanya berbeda dengan Dresden hehee.. jadi saya pikir
kapan lagi dalam waktu dekat bisa mengambil foto-foto pemandangan
disitu. Apalagi kunjungan kami pun singkat, hanya menginap 2 malam di
Wina padahal tempat yang akan kami kunjungi masih banyak, tidak mungkin
satu objek sempat 2x terkujungi. Tetapi menurut suami, karena liburan
itu milik kami bersama dan anak-anak pun berhak menikmatinya maka
sangatlah tidak bijaksana seandainya saya asik sendiri
menjeprat-jepret dan seolah-olah mengabaikan dia dan anak-anak. Oo…oo…
padahal saya sama sekali tidak bermaksud begitu, saya pikir dalam kurun
waktu singkat menjeprat-jepret itu, (seringnya pake automatic pula
karena tidak ada waktu untuk mengatur-atur secara manual disamping
kemampuan teknik yg belum canggih tentunya hehee) dan selama anak-anak
termonitor dengan aman dibantu suami, saya juga sudah membuat
kenang-kenangan bagi kami sekeluarga dan suatu saat bisa menunjukkan
kepada anak-anak dan berkata “ooh ini lhoo foto kalian waktu di tempat
anu di Wina… ooh itu lhoo gaya kalian waktu berkunjung ke Riesenrad..”.
Seperti simbiose mutualisme begitulah… Tapi tentulah dua kepala akan
punya dua pikiran yang berbeda. Well, okelah kalau begitu… kan istri
harus nurut sama suami yah :))
Jadi, sambil masih kesal
karena keinginan saya memotret tidak tersampaikan, :p naiklah kami
kedalam sebuah bus merah yang khusus dipakai dalam jalur turis
oldcity-nya Wina. Saya lupa istilahnya apa, yang jelas bus merah kecil
itu berisi sedikit kursi dan penumpang yang tidak penuh, sebagian
kursinya ada yang berhadapan seperti posisi kursi dalam angkot di
Indonesia. Saya dan suami duduk berdampingan dan berhadapan dengan 2
orang asing didepan kami. Kami pun bicara yang singkat2 seperlunya
karena satu sama lain masih merasa kesal. Anak-anak duduk diseberang
samping kami dan asik mengoceh terus dalam bahasa Jerman membicarakan
apa saja yang mereka lihat sepanjang perjalanan, sampai akhirnya si
bungsu bertanya dalam bahasa Indonesia “Apa artinya drei (3)
Musketeer?” lalu saya jawab, “ Mama enggak tau, yang mama tau cuma
cerita filmnya Three Musketeers (filmnya Kiefer Sutherland) aja, tapi
itu sama enggak ya?” Suami pun sama tidak faham betul.
Spontan,
tiba-tiba saja salah satu penumpang dihadapan kami, wanita cantik
pirang berusia sekitar 43 tahun dengan busana eksklusif dan simpatik
bertanya kepada kami dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih “Anda
berasal dari Indonesia?” saya dan suami tentu saja kaget sekali.
Huahhh, bahasa tubuh kami yang sedang kesal dan bicara pendek2 itu
tentulah dimengerti oleh orang itu :p Tiba-tiba saja kami merasa malu
kepada diri sendiri... Lalu wanita itu bilang, bahwa dari tadi dia ingin
bertanya kepada kami, tapi karena anak2 kami selalu bicara dalam bahasa
Jerman maka dia hanya mengamati saja. Selanjutnya, dia menjelaskan
arti 3 Musketeer kepada anak2 kami dalam bahasa campuran
Indonesia-Jerman :D
Dunia sempit.com judulnya, saya pikir selama
kami marah di negeri asing, bule-bule enggak akan mengerti, ternyata
kami yang terkecoh hahahahaa..
Kemudian saya dan suami pun
langsung meluncurkan pertanyaan2 karena rasa penasaran kami “Wahh
hebat, bahasa Indonesia anda bagus sekali.. pernah ke Indonesia?”
“pernah berapa lama tingggal di Indonesia?” dan bla bla bla pertanyaan2
lain...
Ternyata wanita ini asli Wina, pernah hampir 8
tahun tinggal bolak-balik Austria-Indonesia dan mengunjungi ke banyak
kota di Indonesia. Artikulasi bahasa Indonesianya terdengar sangat jelas
dan dia bisa memilih kata-kata yang tepat untuk berkomunikasi yang
dipakai orang Indonesia umumnya. Dia juga sangat menyukai suasana dan
kultur Indonesia termasuk makanan2nya. Kami terus mengobrol dalam bahasa
Indonesia, sehigga penumpang lain memeperhatikan kami.
Sampai
suatu ketika dia bertanya kepada saya “Anda muslim kan?” padahal saya
pakai kerudung hehee...(belakangan saya mahfum, karena ternyata wanita2
orthodox pun banyak yang memakai kerudung ala muslimah Turki). Saya
jawab “Ya”. Lalu dia bilang “Saya juga muslim”. Saya lalu mengejar
dengan pertanyaan “Bagaimana anda bisa menjadi muslim?” dia lalu
menceritakan, bahwa saat kejadian tsunami besar menghebohan tahun 2004
lalu dan memakan korban ribuan jiwa di banyak negara termasuk di Aceh
itu dia sedang berada di sebuah desa pantai di Srilanka. Saya tidak
menanyakan lebih lanjut apa yang dia lakukan saat itu di Srilanka.
Mungkin berlibur. Yang jelas sejumlah 220 orang yang sedang berada di
desa pantai itu semuanya meninggal tidak tertolong kecuali dia seorang
diri yang berhasil selamat. Dan sejak itulah dia memeluk Islam. Saat
mendengarkan ceritanya, tiba2 saja bulu kuduk saya berdiri, merinding,
Subhanallah! Allah telah memberikan hidayah bagi hambaNya yang terbiasa
hidup dalam gemerlapnya kota Wina yang sangat cantik dan dalam tatanan
sosial masyarakat kristiani dengan cara yang tidak terduga. Saya
berpikir mungkinkah di desa itu ada satu mesjid atau mushola yang tetap
berdiri tegak sebagaimana halnya terjadi di Banda Aceh, sehingga dia
memutuskan untuk memeluk Islam?? Wallahualam..
Karena
belum sempat kami melanjutkan pembicaraan, tiba2 bus merah kendaraan
kami telah sampai pada halte yang kami tuju. Mengingat waktu metro/u
bahn tujuan kami berikutnya hampir tiba dan planning kami telah
terjadwal maka kami pun dengan agak tergesa-gesa turun dari bus. Kaget
dengan perhentian mendadak karena asik mengobrol. Wanita itu pun turun
juga, hanya saja ke arah yang berlawanan dengan tujuan kami. Sempat
terbersit dalam pikiran untuk menanyakan nama, alamat atau telepon...
tapi karena pertemuan yang sangat singkat dan saya khawatir itu menjadi
tidak sopan bagi kultur mereka maka saya pun mengurungkan niat
tersebut. Kami berpisah, tersenyum sambil berkata "Sampai jumpa" dan
saling melambaikan tangan. Belakangan saya menyesal, kenapa saya lupa
menanyakan emailnya... mungkin dengan begitu komunikasi kami akan terus
terjalin dan barangkali dia membutuhkan sesuatu atau informasi yang
berhubungan dengan keIslamannya atau dengan Indonesia yang disukainya
saya bisa membantunya. Tapi... ya sudahlah, saya tidak mempunyai mesin
waktu dan memutar kembali ke kejadian saat itu. Saya hanya bisa
mengirimkan do’a tulus baginya, siapa pun namanya dan dimanapun
tinggalnya, untuk wanita mualaf itu, yang juga telah menyentakkan
kesadaran kami, saya dan suami, bahwa kami tidak boleh menganggap enteng
orang asing di hadapan kami tidak mengerti bahasa verbal dan non
verbal dalam bahasa Indonesia sekalipun! Semoga saja iman Islamnya tetap
terjaga dan dia diberikan kemudahan serta kelancaran menjalani agama
baru dalam hidupnya. Amin.
Dresden, 15 November 2010
No comments:
Post a Comment