Pengalaman ini sebetulnya tidak disengaja, bermula dari liburan Natal tahun lalu saat salju dingin mengguyur dan tebal menyelimuti Dresden. Sambil memenuhi keinginan anak2 yang ingin bermain seluncur dengan schlitten diluar, kami bertiga menuju bibliothek –perpustakaan-- kota yang jaraknya sekitar 250 meter dari rumah. Seperti biasa, sesampainya di bibliothek saya langsung ke arah rak dimana film-film DVD tersusun dan anak-anak menuju ke pojok baca ruangan buku anak-anak. Setelah memilih beberapa DVD dan buku-buku yang akan dipinjam saya pun menyusul ke ruangan baca anak.
Saya lihat si sulung duduk diatas tatami mini berkarpet dengan bantal-bantalnya sedang asik menekur membaca buku Donad Duck, si bungsu pun demikian, asik membuka-buka buku yang dipegangnya. Saya perhatikan judulnya “Woher die kleinen Kinder kommen” (Darimana anak kecil berasal) Saya tersenyum sendiri dalam hati, untunglah kalau dalam buku tersebut ada penjelasan yang bisa memudahkan saya menerangkan darimana bayi berasal seperti yang selama ini pernah ditanyakan Kinan dan Obbie. Anak-anak memang sedang masanya ingin tahu, dan selama ini saya hanya menjawab bahwa mereka keluar dari perut mamanya setelah berusia 9 bulan 10 hari dan bla bla bla.. tanpa penjelasan bagaimana cara memproduksinya tentu saja hehehe..
Tak lama setelah saya ikut merebahkan diri diatas tatami, Obbie (kelas 1 SD, saat itu 6,5 thn) menghampiri saya yang sedang duduk disebelah tetehnya. Dia bilang „Mama di bibliothek kindergarten Obbie dulu juga ada buku ini, juga yang ini, ini, ini“ sambil menunjukkan kearah susunan buku lain di rak buku yang hampir serupa jilidnya dengan judul berbeda. Lalu „Mama, Obbie mau pinjam buku ini“ aku jawab „Iya. Mama boleh baca juga kan?“ dia mengangguk sambil melihat-lihat ke arah buku lainnya yang berjejer rapi di rak. Aku pun lalu mulai membuka-buka dan membacanya. Halaman-halaman dalam buku itu memiliki jendel-jendela yang bisa dibuka dengan gambar yang berbeda didalamnya. Halaman pertama dan kedua tentang anatomi, ada gambar anak kecil laki-laki dan perempuan berbaju. Begitu dibuka, maka terdapat gambar dibalik jendela itu keduanya telanjang lengkap dengan alat kelaminnya. Lalu ada gambar perempuan dan laki-laki dewasa, yang dibalik jendela2nya juga memperlihatkan alat reproduksinya. Oohh... ini pelajaran waktu saya kelas 2 SMP, batin saya dalam hati. Kemudian sampailah saya pada gambar seorang anak laki-laki yang sedang berdiri di depan pintu kamar orang tuanya, disitu tertulis pertanyaan „.Ob Mama und Papa schon wach sind?.“ (Ketika mama dan papa sudah bangun?) Dan begitu jendela kecil diatas gambar tersebut dibuka..... Masya Allah!!! Saya terkesiap dengan gambarnya. Meskipun tidak sampai shock berat tapi saya sempat terbengong bengong hilang pikiran dan beberapa saat jantung saya serasa berhenti berdenyut. Dibawah jendela gambar pintu kamar itu terdapat gambar laki-laki dan perempuan dewasadalam posisi berhubungan intim dengan perempuan diatas!! Saya mencari-cari ke arah cover buku, benarkah buku itu bacaan untuk anak (???) dan ternyata memang di bagian belakang cover buku tersebut terdapat tulisan seri „Kindergartenalter“
Yang lebih parah lagi, gambar itu disertai tulisan penjelasan bagaimana orang tua sebagai pasangan, memadu kasih dibalik pintu kamar tidur yang bila diterjemahkan menurut saya terasa vulgar buat anak seusia kindergarten.
Huhuhuhuu.... ingin menangis dan menjerit saja rasanya, mengapa gambar seperti itu sekalipun berupa kartun harus ada dalam buku tersebut??? Saya belum siap menerima kenyataan bahwa Obbie pernah melihat gambar itu diusianya selagi sekolah di Kindergarten!!
Sambil menata hati dan menimbang-nimbang bagaimana saya harus menyikapi kejadian tersebut dengan jernih, saya diam beberapa menit, berpikir keras mencari cara agar saya bisa mengorek ‚rahasia’ apa saja yang sudah diperolehnya dulu. Saya tahu di kindergarten sekolahnya dulu ada ruang bibliothek mungil. Beberapa kali saya pernah menjemput Obbie di ruangan itu sepulang sekolah karena kadang-kadang memang ada pelajaran membaca bersama gurunya. Tapi sepanjang yang saya lihat meskipun tidak sempat membaca judulnya, buku-bukunya rata-rata berhard cover dengan gambar umumnya anak-anak usia kindergarten dengan warna-warna cerah.
Hmmm.. babak pertama segera dimulai, saya lalu memanggil Obbie yang asik melihat-lihat buku lain.
„Obbie, kesini“ panggil saya. Sambil matanya masih kearah buku yang dipegangnya, dia berjalan kearah saya.
„Obbie dulu di kindergarten pernah baca buku ini?“
„Iya“ jawabnya
„Obbie udah berapa kali liat buku ini?“
„3x“ ( Gubrakkss!!! ???**%??**@?!?! )
„Kapan?“
„1x dibacain sama Simone -guru walinya-“ lalu „1x Obbie liat-liat sendiri di bibliothek kindergarten. Terus sama sekarang“
„Terus Obbie liat semuanya?“
„Iya, bu guru Obbie bacain buat kita“ (anak-anak sekelasnya, maksudnya)
„Apa Simone bacain juga gambar ini?” (sambil menunjuk ke jendela kecil dalam buku dengan gambar hubungan intim pria wanita itu, yang saya benar-benar tak tega membukanya!!)
“Iya. Bu guru Obbie bolehin kita liat semua gambarnya kooq...”
“Ooooh..” gumam saya, pasrah. Kecolongan.
Si sulung yang sebelumnya asik tak bergeming dengan bukunya kemudian jadi ikut-ikutan nimbrung. “Ada apa sih Ma..”
“Gak apa-apa. Obbie mau pinjam buku ini. Teteh pernah baca buku ini?” Memandang judulnya sebentar, lalu “Belum” katanya, sambil melanjutkan baca buku yang dipegangnya lagi. Plong!!
Hening. Berpikir keras lagi. Saya tidak marah, tapi prihatin luar biasa. Ahh sayangku Obbie, kenapa mesti diusia 5 tahunan kamu melihat gambar itu...
Demi melihat perubahan ekspresi wajah mamanya dan menerima cecaran pertanyaan itu rupanya ‘radar’nya menjadi aktif. Lalu tiba-tiba saja Obbie bilang pada saya “Mama, Obbie enggak jadi pinjam buku itu kerumah, yang ini aja” katanya.
Saya lalu balik bertanya “Kenapa??”
Sambil tersipu-sipu dan sedikit memerah mukanya dia bilang “Gak apa-apa, Obbie mau pinjam yang ini saja sama yang ini, ini...” sambil menunjuk buku-buku lainnya. Lhoo...???
Saya menahan geli dalam hati dan bersyukur, baguslah saya tidak usah bersusah payah menerangkan lebih lanjut karena saya sendiri belum siap untuk membahasnya saat itu. Saya hanya bilang “Iya, pinjam yang lain aja ya, yang ini mama simpan aja lagi. Ok?” Padahal tanpa sepengetahuan mereka buku itu saya pinjam kerumah, karena saya masih penasaran dengan halaman-halaman berikutnya. Juga karena saya ingin sharing dengan teman-teman yang mempunyai tanggung jawab moril sama sebagai orang tua.
Sore itu di bibliothek, untuk pertamakalinya tiba-tiba saja saya merasakan hikmah mendalam atas kejadian malasnya Obbie belajar membaca saat masih di kindergarten. Berbeda dengan si sulung yang selalu ingin tahu abjad sejak usia 2 tahun 3 bulan dan membaca majalah Bobo dalam hati diusia 3 tahun selagi di Indonesia, si bungsu malaas sekali belajar membaca.
Meskipun sebelum usia 4 tahun di Indonesia saya sempat mengajarinya cara membaca dasar ma-mi-mu, na-ni-nu dst menjelang tidurnya
, tapi selama sekolah di kindergarten sini yang pelajarannya adalah bermain dan selalu bermaiin dan tidak mewajibkan anak-anak didiknya belajar membaca, praktis Obbie pun terbawa-bawa begitu dan saya membiarkannya saja mengikuti ritme itu. Pelajaran membaca dasar yang dulu dikenalnya benar-benar hilang tak berbekas dan saya mengkhawatirkannya karena menjelang memasuki SD dia masih belum pandai membaca ditambah malas mengeja. Belakangan saya bersyukur dengan kemalasannya dulu belajar membaca dan tertundanya saya dan anak-anak menyusul suami ke Dresden. Saya membayangkan seandainya saja si sulung yang sudah sangat lancar membaca sempat mengenyam pendidikan kindergarten disini.... Ahh agak bergidik saya membayangkannya.
Mungkin tidak semua kindergarten di Jerman memiliki buku bacaan yang sama, sehingga terbebaslah sang anak dari kevulgaran diusia dini. Tapi setahu saya, di Grundschule (SD) di Dresden dan negara bagian Sachsen atau mungkin seluruh Jerman (?) terdapat pelajaran „Sex Education“ bagi murid-muridnya di kelas 4. So, sebelum pengalaman Obbie tersebut, sebetulnya saya sedang mempersiapkan mental diri saya sendiri menghadapi si sulung yang Agustus 2011 ini akan naik ke kelas 4. Saya harus siap-siap menjawab pertanyaan-pertanyaannya nanti dan bagaimana bisa menyikapinya dengan bijaksana. Saya tentu tidak bisa menerapkan apa yang selama ini diperoleh dari orang tua, karena dimasa pertumbuhan hingga lulus sekolah, hanya ada satu kata untuk urusan sex education itu ; tabu. Jadi boro-boroo mau membahas hal-hal seputar itu, mau nanya saja sudah maluu !!
Dresden, 7 Juli 2011







No comments:
Post a Comment