Wednesday, February 29, 2012

Masak, Suatu Makna Dibalik Ketidaksukaan

Sudah 4 minggu terakhir saya keranjingan praktek resep-resep tanah air, dari yang tingkatannya mudah sampai agak  sulit. Pernah dalam  tiga hari berturut-turut menunya seperti begini, hari pertama ketoprak, hari kedua bistik lidah ala Indoneisa, hari ketiga sate padang. Dan dalam 3 hari berturut –turut itu  saya mendapat pujian serta ucapan terima kasih dari suami. Wah senangnyaaa!!  Senang  karena praktek coba-coba resep tersebut berhasil, senang juga diberi  pujian dan ucapan terimakasih dari orang tercinta, juga  yang lebih penting lagi, senang melihat mereka ayah dan anak-anak  semuanya bisa makan dengan lahap! Meskipun khusus saat menu ketoprak, anak-anak bisa  makan lahap karena saya buatkan makanan yang berbeda tapi tetap memakai lontong dan tahu goreng.

Kebahagiaan ini bertambah ketika saya menyajikan menu seperti sop ceker, buntil, tumis asin peda atau pecel lele di hari-hari berikutnya, yang  pada saat makan lele gorengya semua  pakai tangan saja dengan lahap dan kilat, itu tentu saja nilai plus buat anak-anak  saya yang seringkali   cenderung lamban menyelesaikan makannya  di rumah. Juga „prestasi“ setelah hidup disini selama 3,5  tahunan digempur makanan  Eropa (vegetaris dan ikan) setiap hari di Hortnya  di Dresden dulu  dan di sekolahnya sekarang . Selera lidah  anak-anak  terhadap makanan perlahan-lahan memang mulai berubah. Mereka suka sup-sup  ala Jerman juga pasta, sementara  saya dan suami tetaap dengan selera nusantara. Jadi dirumah  biar gak repot masak berkali-kali, mereka harus mengikuti makan malam ala Indonesia hehee.. makan malam pasta bolehlah sesekali saja.

Ngomongin makanan Indonesia disini, berarti ngomongin kegiatan masak-memasak, dan betapa harus benar-benar diniati  memulainya. Sampai sekarangpun kalau ada kolom yang menanyakan hobi saya apa, pasti saya akan jawab cepat :  membaca, travelling dan nonton film. Jujur, sejak kecil dulu saya paling anti bila disuruh  ke dapur. Saya lebih suka bila disuruh beres-beres  dan mengepel rumah, katanya hasil beres-beres saya meskipun lambaan --karena suka gak sadar sambil diselang baca majalah lama yang baru ketemu-- tapi  selalu bersih dan memuaskan!  Ya jelaslah, lha wong saat mau ngepel itu kadang-kadang semua kursi-kursi ruang tamunya saya angkat dan dibalikkan segala!  Seperti  jaman piket di SD dulu. Dan kalau hasil mengepel saya belum kering kemudian ada yang menginjak lantainya, pasti saya akan langsung tegur, siapapun, termasuk orang tua hihihii…  Kesal, karena  sebel liat jejak-jejak kaki baru yang malah mengotori  si lantai!  Hmm.. hasil baju yang saya seterika  juga dikenal paling rapi di keluarga kami  :-))

Untungnya ibu saya yang kebetulan hobi dan jago masak juga sudah diakui kelezatan masakannya di keluarga besar serta  dalam lingkungan kerjanya bisa mengerti bahwa saya tidak berminat kearah situ. Jadi beliau tidak memaksa saya harus membantunya memasak di dapur. Dan beruntungnya lagi, karena kebetulan orang tua saya keduanya bekerja, dirumah keluarga kami selalu ada „helper“  baik yang tinggal bersama dirumah sampai bertahun-tahun atau yang pulang harian tapi juga bertahan hingga belasan tahun. So, terbebaslah saya dari kegiatan membantu ibu saya memasak di dapur hehee.. dengan alasan yang baik tentu saja, karena sudah ada sang helper!  Padahal aslinya  memang  malas, gak minat dan gak mau masak, wah anak gadis yang payah betul!! :p

Nahh, sejak kejadian keranjingan berulang-ulang praktek resep  tanah air disini bahkan yang dulu sama sekali tidak pernah terpikir berminat memasaknya, lalu saya jadi bertanya-tanya pada diri sendiri.. koq bisaa?? Ini sekarang  jadi apa namanya ya..?  Hobi?? Coba-coba??  Kebutuhan??  Kangen?? Penasaran ingin praktek?? Pembuktian diri?? Ingin menyenangkan keluarga?? Aah entahlaah.. yang jelas hasil praktek dan olahan dapur  itu kemudian jadi tersaji di meja makan, memuaskan dahaga  kuliner  tanah air  dan bisa dimakan bersama-sama, kadang oleh keluarga dirumah saja. Kadang oleh tamu-tamu keluarga kami  dan beberapa waktu lalu malah sering  juga dimakan oleh lebih dari 40an  orang  di acara kumpul-kumpul atau syukuran  dengan teman-teman  Indonesia  di Dresden. Jangan ditanya lagi  bila hidangan yang tersedia sungguh berkenan di lidah mereka, apalagi bila sampai ada yang menanyakan bagaimana resep dan cara membuatnya… rasanya bahagia deh, jerih payah saya dihargai! 

Pesan dari tulisan saya ini, bahwa sesuatu yang benar-benar tidak disukai lebih baik tidak  disikapi dengan antipati dahulu. Mungkin dari hal atau sesuatu yang tidak kita sukai sekarang,  itulah yang  kemudian menjadi celah atau jalan bagi kita untuk  bisa membahagiakan orang lain. Saya ingat pernah ada salah satu tulisan  pak Mario Teguh yang  kira-kira intinya seperti ini “Sebagian orang masih tidak sukses karena belum mencoba hal yang tidak disukainya, tapi mungkin dari situlah kesuksesannya berawal“  Hal yang terjadi pada diri saya sendiri mungkin bukan pada taraf sukses, tapi masih pada taraf „ternyata aku mampu“  Ah, tapi itu saja sudah membuat saya bahagia, apalagi kalau saya bisa menyenangkan orang lain.

No comments:

Post a Comment