Sudah 4 minggu terakhir saya keranjingan praktek resep-resep tanah
air, dari yang tingkatannya mudah sampai agak sulit. Pernah dalam tiga
hari berturut-turut menunya seperti begini, hari pertama ketoprak, hari
kedua bistik lidah ala Indoneisa, hari ketiga sate padang. Dan dalam 3
hari berturut –turut itu saya mendapat pujian serta ucapan terima kasih
dari suami. Wah senangnyaaa!! Senang karena praktek coba-coba resep
tersebut berhasil, senang juga diberi pujian dan ucapan terimakasih
dari orang tercinta, juga yang lebih penting lagi, senang melihat
mereka ayah dan anak-anak semuanya bisa makan dengan lahap! Meskipun
khusus saat menu ketoprak, anak-anak bisa makan lahap karena saya
buatkan makanan yang berbeda tapi tetap memakai lontong dan tahu goreng.
Kebahagiaan
ini bertambah ketika saya menyajikan menu seperti sop ceker, buntil,
tumis asin peda atau pecel lele di hari-hari berikutnya, yang pada saat
makan lele gorengya semua pakai tangan saja dengan lahap dan kilat,
itu tentu saja nilai plus buat anak-anak saya yang seringkali
cenderung lamban menyelesaikan makannya di rumah. Juga „prestasi“
setelah hidup disini selama 3,5 tahunan digempur makanan Eropa
(vegetaris dan ikan) setiap hari di Hortnya di Dresden dulu dan di
sekolahnya sekarang . Selera lidah anak-anak terhadap makanan
perlahan-lahan memang mulai berubah. Mereka suka sup-sup ala Jerman
juga pasta, sementara saya dan suami tetaap dengan selera nusantara.
Jadi dirumah biar gak repot masak berkali-kali, mereka harus mengikuti
makan malam ala Indonesia hehee.. makan malam pasta bolehlah sesekali
saja.
Ngomongin makanan Indonesia disini, berarti
ngomongin kegiatan masak-memasak, dan betapa harus benar-benar diniati
memulainya. Sampai sekarangpun kalau ada kolom yang menanyakan hobi
saya apa, pasti saya akan jawab cepat : membaca, travelling dan nonton
film. Jujur, sejak kecil dulu saya paling anti bila disuruh ke dapur.
Saya lebih suka bila disuruh beres-beres dan mengepel rumah, katanya
hasil beres-beres saya meskipun lambaan --karena suka gak sadar sambil
diselang baca majalah lama yang baru ketemu-- tapi selalu bersih dan
memuaskan! Ya jelaslah, lha wong saat mau ngepel itu kadang-kadang
semua kursi-kursi ruang tamunya saya angkat dan dibalikkan segala!
Seperti jaman piket di SD dulu. Dan kalau hasil mengepel saya belum
kering kemudian ada yang menginjak lantainya, pasti saya akan langsung
tegur, siapapun, termasuk orang tua hihihii… Kesal, karena sebel liat
jejak-jejak kaki baru yang malah mengotori si lantai! Hmm.. hasil baju
yang saya seterika juga dikenal paling rapi di keluarga kami :-))
Untungnya
ibu saya yang kebetulan hobi dan jago masak juga sudah diakui
kelezatan masakannya di keluarga besar serta dalam lingkungan kerjanya
bisa mengerti bahwa saya tidak berminat kearah situ. Jadi beliau tidak
memaksa saya harus membantunya memasak di dapur. Dan beruntungnya lagi,
karena kebetulan orang tua saya keduanya bekerja, dirumah keluarga kami
selalu ada „helper“ baik yang tinggal bersama dirumah sampai
bertahun-tahun atau yang pulang harian tapi juga bertahan hingga belasan
tahun. So, terbebaslah saya dari kegiatan membantu ibu saya memasak di
dapur hehee.. dengan alasan yang baik tentu saja, karena sudah ada sang helper! Padahal aslinya memang malas, gak minat dan gak mau masak,
wah anak gadis yang payah betul!! :p
Nahh, sejak kejadian
keranjingan berulang-ulang praktek resep tanah air disini bahkan yang
dulu sama sekali tidak pernah terpikir berminat memasaknya, lalu saya
jadi bertanya-tanya pada diri sendiri.. koq bisaa?? Ini sekarang jadi
apa namanya ya..? Hobi?? Coba-coba?? Kebutuhan?? Kangen?? Penasaran
ingin praktek?? Pembuktian diri?? Ingin menyenangkan keluarga?? Aah
entahlaah.. yang jelas hasil praktek dan olahan dapur itu kemudian jadi
tersaji di meja makan, memuaskan dahaga kuliner tanah air dan bisa
dimakan bersama-sama, kadang oleh keluarga dirumah saja. Kadang oleh
tamu-tamu keluarga kami dan beberapa waktu lalu malah sering juga
dimakan oleh lebih dari 40an orang di acara kumpul-kumpul atau
syukuran dengan teman-teman Indonesia di Dresden. Jangan ditanya lagi
bila hidangan yang tersedia sungguh berkenan di lidah mereka, apalagi
bila sampai ada yang menanyakan bagaimana resep dan cara membuatnya…
rasanya bahagia deh, jerih payah saya dihargai!
Pesan
dari tulisan saya ini, bahwa sesuatu yang benar-benar tidak disukai
lebih baik tidak disikapi dengan antipati dahulu. Mungkin dari hal atau
sesuatu yang tidak kita sukai sekarang, itulah yang kemudian menjadi
celah atau jalan bagi kita untuk bisa membahagiakan orang lain. Saya
ingat pernah ada salah satu tulisan pak Mario Teguh yang kira-kira
intinya seperti ini “Sebagian orang masih tidak sukses karena belum
mencoba hal yang tidak disukainya, tapi mungkin dari situlah
kesuksesannya berawal“ Hal yang terjadi pada diri saya sendiri mungkin
bukan pada taraf sukses, tapi masih pada taraf „ternyata aku mampu“
Ah, tapi itu saja sudah membuat saya bahagia, apalagi kalau saya bisa
menyenangkan orang lain.